Sembilan

3.2K 671 308
                                    

Reiga

Gue gak bercanda, sepertinya gue sudah mulai tertarik kepada Wiya walau perkenalan kita belum terlalu lama. Rasa suka memang seperti ini kan? Beberapa ada yang datang dengan sangat cepat hanya karena banyaknya kecocokan di sana.

Setelah tanpa sadar mengucapkan hal itu kepadanya, suasana menjadi hening dengan Wiya yang berpura-pura fokus pada pemandangan di sebelahnya. Ternyata, keseringan ketemu sama Cheri sama sekali tidak baik untuk kestabilan emosi gue. Gue gak bete karena ketemu sama perempuan itu, tapi gue kesal gara-gara ucapan Wiya yang seakan-akan mendorong gue untuk kembali kepada Cheri seandainya gue memang masih berharap banyak terhadapnya.

"Ini daerah Lembang bukan sih?" Wiya tampaknya baru menyadari jika saat ini dirinya sudah tidak lagi berada di wilayah perkotaan.

"Iya, Cikole. Ada tempat namanya Warung Kopi Gunung, saya pernah diajak Rama ke sini dan tempatnya adem, sesuai request kamu."

Raut antusias muncul di wajahnya, "Itu bukan?" tanyanya sembari menunjuk sebuah plang kayu bertuliskan nama tempat yang tadi gue sebutkan. Gue mengiyakan, lantas mengambil ancang-ancang untuk membelokkan mobil menuju sebuah kafe yang sedang naik daun sebagai kafe hits di sekitaran Bandung.

Seperti sudah tidak sabar, Alawiya Velia langsung mengemasi barang-barangnya ke dalam tas dan turun lebih dulu dari mobil. Gue hanya bisa tersenyum sambil menggeleng pelan, kemudian mengikuti jejaknya tak lama setelah membawa waist bag yang gue taruh di jok belakang. Jarak gue mungkin berada tiga langkah di belakang Wiya, sengaja tidak menyusulnya karena gue sangat suka melihat langkah ceria perempuan berkaos putih tersebut.

"Rei, sini!" Panggilannya membuat langkah kaki gue melebar. Tepat ketika gue berada di sebelahnya, Wiya langsung meraih lengan gue dan menggandengnya cepat. "Saya pengen duduk di sana, yang deket pager," telunjuknya menunjuk sebuah meja kayu yang berdekatan dengan pembatas menuju hutan pinus.

Gue mengangguk, "Ayo, terserah kamu pengen duduk di mana, di pangkuan saya juga boleh," kata gue dengan maksud bercanda. Perempuan itu terkekeh pelan, lantas sedikit menyeret gue menuju tempat incarannya padahal dia tidak harus melakukan ini karena orang-orang yang berkunjung ke kafe tidak terlalu banyak.

"Kamu gak boleh minum kopi," bibirnya agak maju ke depan karena kecewa. Di suasana dan nuansa seperti ini, menikmati kopi seperti menjadi aktivitas wajib apalagi ditambah dengan udara dingin yang melanda. "Teh mau? Lemon Mint Tea kalau anget enak kayaknya," gue mengusulkan.

"Kamu pesan apa? Kopi ya?" Matanya memicing curiga, kok hari ini Wiya gemes banget sih?

"Teh juga, biar sama kayak kamu, gimana?"

Senyumnya mengembang, "Oke deh, Lemon Mint Tea yang anget," pesannya. Gue pamit sebentar untuk menyebutkan dan membayar pesanan ke kasir. Di sana, gue juga membeli beberapa kudapan seperti Surabi yang kebetulan ditawarkan. Lupa juga tadi nggak nanya Wiya maunya apa, tapi kalau misal dia ingin pesan lagi, gampang lah tinggal panggil abangnya dan langsung bayar.

"Rei, sepertinya ada yang ketinggalan deh dari pembahasan kita di rumah kamu beberapa hari lalu." Saat itu gue tidak terlalu fokus pada Wiya karena sibuk menghitung sisa waktu yang gue punya. Sekarang jam dua siang, itu artinya gue harus pulang sekitar pukul setengah empat dan mengantarkan Wiya sebelum berangkat kerja.

"Apa?" Tanya gue sembari menyimpan ponsel ke atas meja secara asal.

"Waktu itu kayaknya kita cuma membicarakan resiko baik dari pernikahan ini deh," katanya. Sesaat otak gue loading dulu, maksudnya gimana? "Gini, yang kita bicarakan waktu itu ... resiko untuk saling suka kan? Gimana kalau ada resiko lain selain itu?"

113Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang