Empat Belas

2.7K 613 299
                                    

Velia

Usai perdebatan hebat itu terjadi, gue langsung pergi meninggalkannya sendiri. Gue memang tidak terlalu sering menjalin hubungan asmara, masih bisa dibilang awam sehingga gue cukup syok dengan konflik yang— gak tau, gue gak tau ini termasuk konflik kecil yang dibesar-besarkan atau gimana. Tapi kalau bisa mengulang waktu, sepertinya gue akan memilih untuk terus hidup seperti Alawiya Velia yang masih dikontrol oleh keluarga.

Gak apa-apa deh gue gak kuliah dalam waktu dekat, yang penting gue gak harus stress gara-gara urusan hati yang sulit gue pahami.

Sekeras apa pun gue menahannya, air mata gue tetap berjatuhan sampai pandangan gue buram. Sambil terus berjalan di bawah payung yang gue pegang, gue memesan sebuah taksi online lewat aplikasi yang terpasang di dalam ponsel. Reiga nggak mengejar, gue baru tau kalau dia setega itu terhadap seseorang yang telah blak-blakan menyatakan perasaannya. Ternyata, menikahi seseorang yang tidak lo kenali itu bukan sebuah pilihan tepat untuk dilakukan.

Kedatangan gue ke Ragam Perspektif sukses membuat tiga orang yang tengah bermain PS5 secara bergiliran tersebut terkejut setengah mampus. Suasana mendadak ricuh, terutama ketika mereka melihat air mata yang tak henti keluar dari pelupuk mata gue. Alih-alih menghentikannya, gue malah menangis semakin kencang lagi layaknya anak usia lima tahun yang terjatuh saat sedang bermain di halaman.

"Vel, buset, lo kenapa kok bisa nangis kenceng gini?"

"Lo gak dirampok kan, Vel? Astaga, lo ujan-ujanan? Mau sakit, hah?!"

Yang tidak bersuara hanya Theo, mungkin karena dia sudah bisa menebak apa alasan yang mendasari tangisan kencang ini. Ari menuntun gue menuju kamar di belakang. Gue kira, kamar ini akan berganti tuan atau dikosongkan karena gue sudah tidak tinggal di rumah ini lagi. Tapi gue salah, katanya kamar ini masih milik gue dan akan tetap menjadi milik gue.

"Mau lo atau gue yang bikinin teh anget?" Ari bertanya kepada Nino.

"Lo deh, gue suka kemanisan. Sekalian aja bikin empat, biar kayak di iklan Sariwangi. Pah, kita ngeteh dulu yuk? Mama mau bicara." Sinting emang ini orang, masih aja bercanda sampai gue tertawa di sela-sela tangisan yang gue keluarkan. "YAHAHAHA, ketawa juga lu. Tau iklannya ya?"

Rupanya Theo juga dibuat tertawa, "Stress, besok-besok kita bikin program opera kali ya buat lo? Atau stand up comedy sekalian."

"Jangan lah, nanti Bintang Emon sama Ge Pamungkas job-nya kosong gara-gara gua."

Obrolan kecil yang menghibur itu berlanjut sampai Ari datang dengan satu nampan berisikan empat buah gelas. Theo dan Nino seperti sengaja membuat cair suasana, sekalian memberi waktu pada gue untuk lebih tenang dan tidak menangis sekencang tadi lagi. Ari dan Nino duduk bersila di atas karpet, sementara Theo dan gue berada di atas kasur yang tidak memiliki ranjang itu.

"Udah tenang belum?"

Meski sering ngejadiin gue objek bercandaan dan ejekan, tiga lelaki ini selalu ada di garda paling depan. Sebetulnya gue enggan mengaku, tapi di rumah ini gue selalu diperlakukan layaknya putri kerajaan. Mereka punya cara sendiri yang membuat gue merasa demikian. Perhatian mereka memang selalu diberikan secara tidak langsung, tapi jika gue dibuat terluka oleh seseorang, maka mereka akan maju tanpa segan untuk memberikan gue perlindungan.

"Udah, maaf ya gue dateng-dateng histeris kayak orang kesurupan."

"Mau cerita apa enggak?" Todong Nino, "Gue yakin masalahnya gak sepele. Soalnya tiga taun idup bareng, baru kali ini gue liat lo nangis sampe bengek gitu."

"Harusnya setelah keluar dari rumah ini, lo tuh bahagia, Vel. Lo bahagianya bentar doang, kalo kayak gini mending lo tinggal sama kita lagi. Mana pernah kita bertiga bikin lo nangis." Ari dan Nino itu juntrungannya aja yang meragukan, sifat aslinya justru sangat hangat dan penuh perhatian. Bikin terharu deh, mana hari ini mereka ganteng banget lagi, abis pada jalan apa gimana?

113Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang