Reiga
Gue kecolongan.
Padahal kalau gak salah ingat, gue megangin kedua tangan ODGJ tersebut dengan cukup erat. Tapi gak tau kenapa dia masih berhasil memberontak dan menyebabkan lengan atas gue tergores oleh besi yang sepertinya merupakan bekas kaki meja itu. Awalnya gue kira cuma kegores biasa, tapi ternyata seragam gue sampai sobek dan darah mengalir deras dari sana.
Dengan mobil milik Ragam Perspektif, gue dibawa ke rumah sakit yang jaraknya cuma sekitar tiga ratus meter dari lokasi. Kalau darahnya gak sebanyak ini sih gue gak akan manja buat ke rumah sakit. Tapi kayaknya lukanya harus dijahit alias membutuhkan pertolongan medis dengan segera.
"Aduh anjing gue yang gemeter," kalau gak salah, yang nyetir namanya Ari. Keningnya sampai ngerut-ngerut karena panik beneran. Berkali-kali dia menekan klakson gak peduli walau pengendara lain pada memakinya.
"Masih kerasa, Rei?" Theo bertanya sambil menekan ujung jari gue.
Gue mengangguk, "Masih, kalian tenang aja ini cuma luka biasa kok, nggak akan separah itu."
"Ya elah, Rei, gak parah gimana itu darahnya ngucur gitu?" Sekitar jam dua belas malam, gue sama Nino main PUBG bareng karena katanya dia gak bisa tidur sehabis ngeberesin revisian skripsi.
"Ih, kalian jangan panik gini deh!" Wiya melerai, "Reiga tadinya perawat, dia pasti- loh, Rei? Kok tangannya dingin?"
"Kan darahnya keluar terus, pasti suhu sekitar bagian tubuh yang luka jadi turun." Beritahu gue yang membuat Wiya menggigiti kukunya sendiri karena bingung harus apa.
Begitu sampai, gue digiring masuk ke UGD dan langsung dipersilahkan menempati sebuah bed yang tersedia. Gue kira gue sendirian, tapi ternyata ditemani oleh Theo yang aktif memberikan keterangan pada perawat pemeriksa.
"Nggak direkam, The?" Gue dibantu oleh dirinya saat membuka kemeja yang gue pakai.
"Kita masih punya etika, Rei. Nggak segala hal dijadikan konten. Apalagi kondisi kamu darurat gini." Ucapnya lalu membawa seragam gue dan seragam Rama ke luar. Gue memejamkan mata rapat-rapat ketika jarum berisi bius lokal disuntikkan ke area luka. Prosesnya cukup lama, mungkin lukanya panjang makanya gue menghabiskan dua puluh menit untuk proses penjahitan saja.
Begitu selesai, empat orang tadi menghambur masuk untuk melihat gue. Sebenarnya gue nggak apa-apa, agak risih juga ditatap panik seperti itu padahal cuma luka begini doang. Tangan gue agak kebas, mungkin efek dari bius lokal walau keuntungannya adalah gue nggak merasakan sakit sehebat tadi lagi.
"Saya bukan lagi sekarat loh," ucap gue. "Pulang ke Markas sekarang? Saya belum bayar biaya pengobatan juga."
"Masalah itu udah diurus, Rei. Perlu dipapah gak? Obat di Veli ya, kata dokter seminggu lagi harus kontrol buat lepas jahitan." Ucap Nino.
KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...