Reiga
Apa yang sudah gue lakukan semalam?
Rasanya gue ingin mengubur diri dalam-dalam, tapi gue keburu sadar kalau melakukannya merupakan sebuah hal yang wajar. Kalau kata Wiya, aku istri kamu. Tapi gak nyangka aja waktunya bakalan secepat ini disaat gue mengira kalau kita berdua nggak akan pernah berjumpa dengan momen tersebut.
Beberapa kali gue jedotin kepala ke tembok dapur sampai Agil yang siang itu lagi bikin kolak labu memanggil Rama karena khawatir oleh kelakuan gue. Gak penting sih, tapi labu tersebut didapat dari kebun kecil yang ada di pinggir gedung markas. Biasanya kalo gak ada kerjaan, beberapa petugas suka iseng nanem sayur atau buah-buahan. Contohnya stroberi, labu kuning, cabai, tomat, sampai bawang daun dan kemangi.
"Heh, stress ya lo? Mau pecah tu kepala?"
"Gue udah gila kayaknya, Ram, hahahahahaha!"
Sontak perhatian semua orang tertuju pada gue yang ketawa kenceng kayak lagi kesurupan. Agil memberi kode supaya Rama bawa gue pergi dari dapur. Lelaki itu menyeret tubuh gue secara paksa menuju ruangan yang biasa dipakai personil untuk bersantai karena kebetulan di sana tidak terlalu banyak orang.
"Kemaren muka lu sepet, sekarang ngedadak mental lo goyang. Kenapa sih anjir?"
Kayaknya ya, setiap orang akan bertemu dengan orang yang tepat di waktu tepat pula. Gue sama Wiya, dan sekarang Rama yang gosipnya pacaran sama dokter di Hasan Sadikin Bandung. Padahal dia pernah berada di posisi yang sama seperti gue; gak bisa bangun dari jeratan masa lalu.
"Lo jangan nanya, ini rahasia negara."
"Udah baikan ya lo?" Tanyanya. "Dapet jatah lagi kan lu? Ngaku."
Lagi-lagi gue ketawa, "Iya anjir gue udah baikan, istri gue udah tidur di sebelah gue lagi. Gila, seneng banget gue." Kerah bajunya gue tarik, kemudian gue menggoyangkan tubuhnya kencang sampai laki-laki itu terguncang ke sana dan ke sini.
"Yang udah rumah tangga banyak perasaan, tapi baru lu doang yang bereaksi over kayak gini. Daripada lo makin gila, mending sekarang bantu gue benerin kabel yang putus gara-gara tikus di atas."
Rama bener, gue udah gila. Saat membantunya pegangin tangga pun, gue masih cekikikan sendiri karena gak bisa lupa sama kejadian tadi malam dan tadi pagi. Kalo gini suka pengen buru-buru pulang deh, jemput Wiya, terus jalan dulu berdua atau cuddle sekalian.
Sumpah, Rei, tingkat kebucinan lo udah ada di tahap yang gak bisa disembuhkan deh ini.
Begitu jam kerja usai, sesegera mungkin gue meninggalkan markas untuk menjemput Wiya yang katanya udah nunggu dari sejam lalu. Kegiatannya selesai lebih awal, nggak sampai langit gelap seperti hari pertamanya kemarin. Untungnya, jarak dari markas Diskar PB Kota Bandung ke ISBI itu cuma sejauh lima kilometer aja. Gue hanya harus melewati Jalan Laswi, lurus terus di Jalan Pelajar Pejuang, sebelum berbelok ke Jalan Raya Buah Batu yang menjadi lokasi kampus kesenian tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...