Sebelas

3K 626 183
                                    

Velia

"Wiya,"

"Yakin mau bangun siang?"

"Nggak jadi keliling kota naik TMB?"

Mata gue sontak terbuka dengan sangat lebar saat bisikan ketiga gue dengar. Makin lama, gue makin terbiasa untuk melihat wajah Reiga dalam jarak yang sangat dekat. Awal-awal sih masih syok, tapi sekarang gue menganggapnya sebagai sarapan pagi dan udah gak aneh lagi kalau pas buka mata, seluruh pandangan gue dipenuhi oleh wajahnya.

"Kamu beres kerja kemaleman sih, jadi jam segini masih ngantuk. Satu jam lagi deh, nanti aku bangunin kamu."

Sebelum lelaki yang wajah serta rambutnya masih basah itu pergi, sesegera mungkin gue mencengkeram tangannya supaya dia urung buat berdiri. "Aku bangun sekarang, pokoknya kita naik TMB pagi ini juga," kata gue, sukses membuat Reiga cekikikan akibat ulah gue barusan.

Ternyata, merangkap profesi sebagai wanita karir sekaligus istri itu gak mudah sama sekali. Reiga gak pernah nuntut apa-apa dari gue, tapi gue merasa bertanggung jawab aja untuk mengurus rumah dan dirinya sehingga waktu yang gue punya agak rebutan. Mana minggu ini, Ragam Perspektif lagi sering banget lembur karena banyak konten yang harus kejar tayang. Masalahnya ada sponsor yang masuk ke video sehingga kita harus segera mengunggahnya karena tuntutan kontrak.

Theo udah pasang iklan lowongan pekerjaan sih, nggak nanggung-nanggung yang kita butuhin sekitar enam orang sekaligus karena Ragam Perspektif mulai keteteran. Gue juga pengen punya waktu yang lebih senggang, gak mau terus-terusan gak ada di rumah tiap kali Reiga pulang padahal yang dia inginkan adalah keberadaan gue di sana. Di satu sisi gue merasa sangat egois, sampai berpikiran kalau yang banyak diuntungkan dalam 'perjanjian' ini cuma gue aja, tidak dengan Reiga.

"Nanti kita naik dari Terminal Cicaheum ya." Gue dan Reiga sebenernya lebih ke membodohi diri sendiri sih. Kita berangkat naik mobil dengan tujuan mau naik bus. Agak sulit diterima sama akal manusia normal, tapi gue dan Reiga satu frekuensi sehingga hal ini kita anggap wajar.

"Aku ngikut aja deh, nggak tau rute soalnya," kata gue pasrah. "Kamu marah gak sih, Rei?" Tiba-tiba aja gue melontarkan pertanyaan yang sesaat membuat Reiga bingung.

"Aku? Marah kenapa?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang sedang lancar-lancarnya.

Gue menarik napas dalam-dalam sebelum menghembusnya kasar, "Aku sibuk di Ragam Perspektif terus, sering lembur dan pulang malem. Kayaknya aku nggak memenuhi syarat dari kamu, soalnya aku gak bisa selalu ada di rumah begitu kamu pulang ke sana."

Jauh diluar dugaan, Reiga malah tertawa sampai ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Percaya deh sama gue, Reiga kalo ketawa berisik banget, apalagi kalau alasan ketawanya karena sesuatu yang dia anggap benar-benar lucu. Whakwhakwhak, gitu kali ya bunyinya?

"Aku nggak mikir gitu, kamu kok overthinking terus sih, Wi?" Iya ya, kok gue berlebihan mulu sih? "Kan aku pernah bilang, aku gak keberatan karena aku udah tau itu konsekuensi pekerjaan kamu. Aku justru mau bilang makasih ke kamu, soalnya ... semenjak ada kamu, aku ngerasa kalo sekarang aku gak sendiri lagi."

Anget banget hati gue pas ditatap kayak gitu sama Reiga.

"Kamu mungkin gak tau, tapi tiap jemput kamu ke kantor Ragam Perspektif, aku seneng banget. Apa ya? Ngerasa kayak ... oh, gini ya rasanya jemput istri kerja? Liat kamu masak, liat kamu tiduran di sofa, liat kamu tidur— apalagi di sebelah aku, make me feel like I'm a happiest person in this world. Aku punya temen, rumah aku hidup, aku gak sendiri."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
113Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang