Reiga
"Jadi maksud kamu, kita nikah beneran?"
"Iya, memang dari awal saya ngajak kamu nikah boongan? Enggak, Wi, nikah beneran."
Kefrustrasian tampak jelas tergambar di wajah perempuan yang masih kaku di tempat duduknya itu. Matanya berkedip cepat, dadanya beberapa kali naik turun seolah sengaja mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin bagi paru-paru, jantung, dan juga otaknya.
"Tapi kita nggak kenal, Rei." Gestur tangannya sekarang mengisyaratkan bahwa dia masih ingin berbicara dan enggan untuk disela. "Too short, right? Perkenalan kita," katanya.
Gue menggeleng, "Nggak apa-apa, kan nanti setelah menikah kita akan tinggal bareng. Otomatis, kita akan saling mengenal satu sama lain karena berada di bawah atap yang sama. Iya kan?"
Kuku jarinya ia gigiti, namun tidak lama karena keburu sadar bahwa itu merupakan sebuah kebiasaan yang buruk. Gue mendesah pelan, "Jadi kamu mau atau enggak, Wi? Butuh waktu untuk mempertimbangkan lagi? Atau kamu mau menolak?"
Gelas tinggi berisi air teh yang gue suguhkan diraihnya. Dia meminum air yang tidak lagi sepanas tadi itu dengan cepat sampai menimbulkan suara gluk-gluk yang khas. "Oke, saya mau," putusnya, sedikit melenceng dari dugaan gue yang mengira bahwa Wiya ingin meminta waktu tambahan. "Kapan rencananya? Saya harus menyusun sedikit skenario soalnya."
Kedua alis gue nyaris bersentuhan karena bingung, "Skenario?"
Napasnya terhembus kasar, "Rei, kamu tau kan saya tinggal sama anak-anak Ragam Perspektif? Mereka tau kalau kita baru kenal hari itu, pas kamu melakukan penyelamatan di Jalan BKR. Mereka itu manusia-manusia yang ... apa ya? Nggak bisa berpikiran pendek pokoknya. Makanya saya harus nyusun skenario buat ngibulin mereka biar saya nggak jadi suspect kecurigaan."
"Bilang aja kita kenal udah setahun, tapi backstreet." Bahasa jaman kapan deh itu? "Kalau nanya kenapa kamu nggak bilang ke mereka, bilang kalau awalnya kita iseng-iseng aja, nggak menyangka akan maju ke tahap serius. Clear sampai situ?"
Ada ketidakpuasan di diri Wiya, tapi dia juga tidak punya opsi lain makanya mengiyakan. "Oke, nanti sisanya saya yang atur. Tapi suatu hari kalau kamu diwawancara sama mereka, tolong ya, ngibulnya yang natural." Seingat gue, banyak konten-konten dari Ragam Perspektif yang tak ayal mengangkat kisah pekerja kriminal. Mungkin karena sering berurusan sama otak kriminal, orang-orang ini jadi peka dan sensitif makanya harus dikibulin secara mulus.
"Saya menghadap orang tua kamu kapan?"
Lagi-lagi kebingungan melanda diri perempuan berusia 23 tahun tersebut. "Hm ... kamu libur kapan?" tanyanya.
"Minggu depan di hari Kamis, soalnya saya jarang dapat jatah libur weekend."
"Oke, Kamis." Ucapnya seraya menjentikkan jari di tangan kanannya.
"Setelah melamar kamu, saya mau memberitahu instansi karena akan banyak hal yang harus saya persiapkan. Pengurusan izin nikah kurang lebih dua minggu, sudah termasuk ke badan-badan terkait seperti kelurahan dan kantor urusan agama. Jadi kalau nggak ada halangan, bulan depan kita bisa menikah."
Tindakan maupun ucapan Alawiya Velia itu tidak ada yang bisa diprediksi sama sekali sehingga tak jarang gue dibuat kaget karenanya. "Nggak bisa nikah siri aja dulu gitu?" ucapnya pelan, nyaris berbisik. "Hng, gini. Saya bukan ngebet, tapi—"
"Nggak bisa, teknisnya akan semakin ribet kalau begitu, Wi. Karena setau saya, nikah siri itu nggak punya pengakuan di mata negara dan kalau kita pengen dapet buku nikah— atau pernikahan kita dicatat pemerintah, urusannya nanti ke pengadilan agama. Kecuali ... kecuali nih ya," gue menjeda sebentar, "kecuali kamu memang pengen dinikahin secara siri dari awal."

KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...