Reiga
Keracunan gas beracun seringkali memang menimbulkan efek instan pada seseorang, apalagi jika yang terhirup merupakan gas yang berasal dari bahan kimia berbahaya tertentu. Itulah kenapa masker oksigen menjadi alat keselamatan yang sangat penting dalam proses rescue korban kebakaran. Masalahnya, kita tidak bisa menghindar dari paparan asap jika menerobos masuk ke dalam bangunan yang dilalap api.
Ketika membuka mata, yang pertama gue sadari adalah gue tidak lagi berada di tempat kejadian. Dari wangi dan desain interiornya yang khas, bisa dipastikan jika sekarang gue berada di UGD sebuah rumah sakit. Terdapat selang oksigen yang berjejal di lubang hidung gue, dengan beberapa jenis infus yang tersambung pada satu selang di punggung tangan kiri.
"Rei?"
Gue menoleh ke sumber suara. Pandangan gue masih kabur, namun telinga gue sudah berfungsi dengan sangat baik dan gue amat begitu mengenali suara yang tidak asing ini. Seorang perempuan dengan scrub bertuliskan namanya di dada bagian kiri itu adalah Cheri, membuat gue memaki dalam hati kepada siapa saja yang membawa gue ke rumah sakit ini.
"Napas kamu udah enak? Ada yang sakit gak?"
Sebelum tangannya menyentuh wajah gue, cepat-cepat gue mencekalnya sehingga Cheri tidak jadi melaksanakan niatnya.
"Aku gak apa-apa, ini jam berapa?" Baru sadar, ponsel dan dompet gue pasti tertinggal di mobil komando. Dan kedatangan gue ke rumah sakit ini benar-benar tanpa pengenal sama sekali. Namun sepertinya, cukup banyak petugas yang berada di unit gawat darurat karena beberapa dari mereka tidak asing untuk gue.
"Jam tiga, kamu nggak sadar lama banget. Atala dibawa ke sini juga, tangan kanannya patah." Dia menyampaikan sebuah informasi yang sontak membuat gue berusaha duduk. Melalui tirai-tirai yang terbuka itu, susah payah gue mencari keberadaan Dodot yang gagal gue temukan.
"Dia di ruangan yang berbeda, Rei, nggak di sini. Kondisinya baik kok." Dodot tuh ... ceroboh dan gegabah. Tahun lalu, bahunya mengalami luka bakar serius karena tertimpa reruntuhan saat pemadaman. Keberaniannya memang patut diacungi jempol, namun dia kurang memperhatikan keselamatan diri sendiri dan itu jelas sangat berbahaya untuk dirinya.
"Kebakarannya gimana? Kamu tau info terakhirnya?" Gue bertanya dengan napas yang terengah-engah seperti habis marathon berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
"Sebagian masih belum padam, tapi diprediksi sore ini apinya akan berhasil dipadamkan sama pemadam. Kamu jangan mikirin dulu kebakarannya, Rei, fokus sama diri kamu." Kerutan halus di keningnya menandakan kalau perempuan itu panik setengah mati. "Kamu bisa hati-hati kan? Kamu tau gak kamu keracunan gas apa aja?"
Mulut gue terkatup rapat, sebagai ciri kalau gue tidak sedang ingin berbicara apa pun kepadanya. "Karbon monoksida, Benzena, Aseton, dan beberapa senyawa berbahaya lain yang beracun saat bereaksi dengan api. Kenapa kamu segegabah itu sih?!"
"Kepala aku sakit, Cher, tolong jangan berlebihan gini. Kalau kamu udah gak ada keperluan, lebih baik kamu tinggalin aku sendirian." Secara gamblang gue memintanya untuk pergi. Hal yang terakhir gue lihat darinya sebelum membaringkan badan dan menutup wajah dengan tangan adalah muka kesal penuh kekhawatiran. Kepala gue benar-benar sakit, dada gue juga rasanya sempit banget dan gue gak punya tenaga lebih untuk meladeni dirinya.
Saat dokter datang untuk melakukan pemeriksaan ulang, Cheri udah gak ada di tempatnya yang tadi. Seketika ingatan gue langsung tertuju pada Wiya, dia pasti nungguin kabar dari gue yang gak bisa dihubungi dan lagi harap-harap cemas di rumah. Gue pengen ngasih kabar ke dia, tapi gue gak pegang alat komunikasi apa pun sehingga gue gak punya pilihan selain membiarkannya tenggelam dalam kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...