Velia
"Gue kenal lo bukan baru setaun kayak Reiga, Vel. Jangankan muka punya masalah kayak gini, muka nahan berak lo aja gue udah hafal. Lo kenapa?"
Tiga lelaki yang beberapa tahun ini selalu ada untuk mengisi hidup gue itu memang sulit untuk dibohongi. Benar kata Theo, dia sudah mengenal gue dalam waktu yang sangat lama sehingga dia bisa mudah membaca apa yang salah pada diri gue.
Dari dulu, Theo memang jadi satu-satunya orang yang berani bertanya langsung apa masalah gue. Lain hal dengan Nino dan Ari yang lebih suka memberikan jarak serta waktu untuk gue mendinginkan pikiran, Theo justru selalu bertanya meski dirinya tak pernah menuntut jawaban. Mungkin inilah sebab kenapa gue gak bisa menjadikan Theo lebih dari teman. Dia terlalu mengerti gue luar dalam walau kata orang hal itu merupakan sebuah keuntungan untuk satu hubungan.
"Vel, soal Reiga ya? Ya udah gak usah cerita, tapi lo jangan banyak pikiran gini dong soalnya stress punya dampak besar sama gastritis lo."
Angkringan Om Warno emang paling tepat didatangi di jam delapan sampai jam sembilan. Suasananya masih sepi, belum ramai oleh orang yang nongkrong sehingga cocok banget buat ngobrol serius berduaan. Theo gak salah, kayaknya stress emang punya pengaruh besar sama penyakit gue deh soalnya seharian ini gejalanya kerasa lagi.
Gue menyeruput wedang uwuh yang rasanya masih aneh di lidah gue sedikit demi sedikit sebelum menjawab pertanyaannya. "Iya, soal Reiga. Bukan sesuatu yang serius sih, The, guenya aja yang berlebihan."
"Lo gak pernah murung kalo emang masalah lo gak serius, Vel," takut banget gue kalo Nino atau Theo udah pasang muka serius kayak gitu. "Lo gak wajib ngasih tau gue apa masalahnya kok, tapi kalo bisa diselesaikan, diomongin ke Reiga. Soalnya gak tau kenapa, gue liatnya sumber masalah ada di Reiga."
Apa gara-gara liputan budaya dan mitos ke Kalimantan setahun lalu, Theo jadi punya ilmu magis yang bisa baca isi pikiran orang? Merinding banget, tebakannya gak ada yang salah soalnya.
"Gue cuma ... nggak tau, The, gue juga gak tau kenapa gue bisa sekesel ini sama Reiga. Sebenernya tadi gue dateng pagi tuh sengaja, gue gak mau lama-lama liat muka dia."
"Udah gue duga sih, kalau misal malem ini lo gak mau pulang, nanti gue cari alesan biar lo tidur di rumah aja sama kita." Minuman yang dipilih Theo kalau datang ke angkringan ini hampir gak pernah berubah, selalu jeruk hangat.
"Pulang lah gue, walau kesel sama Reiga, dia tetep suami gue." Bener kata orang, problematika rumah tangga itu merepotkan meski gue gak tau apakah masalah ini bisa disebut problem atau enggak.
"Lo belum terlalu mengenal Reiga atau gimana sih? Kalian nggak terlalu buru-buru kan? Dari awal gue ngerasa aneh aja sama keputusan lo yang terbilang ngedadak, terus liat lo kayak gini ... gue jadi makin negative thinking." Malam ini, Theo gak pakai kacamata— gak mungkin sengaja kecuali dia kelupaan karena benda tersebut sudah seperti kewajiban untuknya.
Gue tertawa kecil untuk meringankan kecurigaannya, "Gue gak segila itu, The, mana mungkin gue nikahin orang random yang gak gue kenal." Tapi Reiga orang asing buat lo, Vel. Dan lo menikah dengannya dalam kondisi lo tidak tahu banyak soal dirinya. Berarti lo gila, gila banget. "Gue bisa handle masalah ini kok, cuma ya emang gue butuh waktu aja. Lo tau sendiri lah gue kalo udah kesel sama orang tuh gimana."
Lelaki itu mengelus punggung gue pelan, "Lo udah dewasa, pasti tau jalan keluarnya harus apa. Inget, kalo butuh gue, gue ada kok. 24/7 bisa lo hubungin."
KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...