Delapan Belas

3.1K 593 143
                                    

Velia

"Baju ganti bawa kan?"

"Tolak Angin, kayu putih juga. Terus jaket jangan lupa, yang gak penting-penting banget gak usah dibawa biar gak terlalu ribet nantinya."

Bawel banget kan gue? Padahal Reiga cuma latgab sehari semalem aja. Dia berangkat malam ini, dan akan pulang lusa pagi hari. Lokasinya di daerah Kuningan, tepatnya di wilayah Cisanggarung yang sebetulnya masih sangat asing bagi telinga gue. Katanya kalau berangkat sekarang, dia akan sampai saat subuh atau pagi— tepat sebelum kegiatan.

"Udah sayaaaang," haduh, masih lemes aja ini mental jelly. Ranselnya gede, Reiga keliatan gagah banget padahal cuma pakai cargo pants dan kaos hitam bertuliskan asal tempat dinasnya. Ada topi yang ia pakai di kepala, dengan sepatu hiking keluaran Eiger yang gue belikan untuknya di awal-awal pernikahan.

"Ganteng deh, yuk aku anter sekarang." Saat ini pukul sepuluh malam, Reiga diharuskan kumpul jam sebelas karena mereka akan berangkat sebelum tengah malam. Laki-laki itu menjinjing ranselnya ke luar, memasukkannya ke jok belakang kemudian duduk di kursi penumpang depan.

"Harusnya aku aja yang nyetir, jangan kamu." Dia berpegangan pada handle di langit-langit dekat pintu saat mobil berguncang akibat melewati polisi tidur yang banyak.

"Aku bawanya emang kasar, tapi percaya deh, kamu bakalan selamat sampe tujuan." Gue tersenyum penuh percaya diri pada Reiga. Kalau diingat-ingat lagi, ini adalah kali pertama Reiga naik kendaraan yang dikemudikan oleh gue. Pantes mukanya panik, ngerasa kayak lagi ikut simulasi meregang nyawa kali ya dia?

"Wi, awas, lampu merah."

"Eh hati-hati itu belokan."

"Rem, Wi, Rem. Ada mobil kasih sein di depan."

"Rei," gue berdecak sebagai tanggapan atas arahannya yang terakhir. "Aku nggak buta, kedua mata aku normal dan aku ngeliat ada mobil di depan. Kamu tenang, oke?"

"Mana bisa tenang, kamu bawa mobilnya kayak orang baru latihan minggu lalu."

Iya sih, joknya maju banget, gue juga sering hampir nempelin tubuh ke setir padahal itu bentuk refleks dari seberapa konsetrasinya gue pada jalanan. Reiga langsung menghirup napas banyak-banyak saat dia berhasil bebas dari perjalanan menegangkan itu. Sementara gue hanya bisa menertawakan lelaki yang kalo terus gue anter sampe Kuningan, bisa-bisa mabuk kendaraan sampe pingsan.

"Haduuuhh, senangnya punya istri. Mau berangkat latgab aja dianter. Lah gua?" Dari suaranya sih, ini Apsa. Eh, bener gak ya? Pokoknya yang investigator itu deh kerjanya.

"Jackpot pula istrinya Alawiya Velia. Kayaknya pas era penjajahan Hindia Belanda, Reiga ikut andil menghapuskan Romusha."

"Ram, Romusha mah era penjajahan Jepang. Nilai sejarah lo jelek ya pas SMA?" Gak gue sangka, sekelas Endaru Reiga Caturangga bisa menanggapi celotehan ngawur kawannya.

"Iya gitu? Terus pas era Belanda namanya apa?" Padahal dari luar, Rama itu keliatan pinter banget. Tipe-tipe orang ganteng yang sempurna dalam berbagai aspek, mirip-mirip Theo.

"Kerja Rodi, Mas." Gue menimpali.

"Bego emang dia mah, Mbak," Apsa memberikan nyinyiran pada Rama. "Coba tes deh, otaknya formalitas doang, ciri kalo dia manusia. Dipake mah enggak."

Udara lagi dingin-dinginnya, gue pengen cepet pulang tapi keberadaan mereka malah bikin seru suasana. "Hm, yang gampang aja deh. Nama lain BPUPKI apa, Mas?"

"Aduh tau nih gue, tau," gayanya sih keliatan tau beneran. "Donkatsu ... eh, Donkatsu apaan sih? Bener kan?"

 eh, Donkatsu apaan sih? Bener kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
113Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang