Prolog

587 25 10
                                    

Shiganshina, Paradise.

Malam itu, hujan deras mengguyur distrik Shiganshina untuk yang kesekian kalinya. Angin kencang berhembus tak tentu arah, menambah kesan dingin menusuk tulang yang semakin menjadi, kilatan-kilatan cahaya putih saling menyambar disusul oleh suara pecah menggelegar dan angin kencang berhembus tak tentu arah melengkapi kengerian badai di malam itu.

Di kediaman Jaeger, kengerian badai itu menjadi penyebab salah satu kekhawatiran sang Nyonya Jaeger yang tampak gelisah di tempatnya. Ia tidak berhenti menatap ponselnya yang tergeletak di meja di depannya, berharap seseorang yang sangat ditunggu kepulangannya itu segera memberi kabar atas keterlambatan kepulangannya. Ya, walau Mikasa sendiri yakin sepenuhnya pasti badai malam ini yang menjadi penyebab utamanya.

Tadi pagi, tepat sebelum berangkat kerja, Eren sudah berjanji dia akan pulang tepat waktu, yakni sebelum makan malam. Tapi lihatlah sekarang, Mikasa menatap jam dinding yang sangat setia terus melakukan tugasnya, jam menunjukkan pukul 11 malam, sudah lewat jauh dari waktu yang dijanjikan.

Eren tidak pernah seperti ini sebelumnya, kalaupun senior Jaeger itu akan terlambat, setidaknya dia akan mengabari walau hanya sebatas mengirim pesan.

Yang semakin membuat Mikasa gelisah adalah, ponsel Eren sama sekali tidak bisa dihubungi sejak tadi sore. Menciptakan pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan.

Di tempat yang berbeda, di tangga rumah itu, dua remaja bermarga Jaeger mengintip Mikasa yang duduk tidak tenang di sofa ruang tengah. Mereka ikut khawatir sekaligus bingung mengenai apa yang harus dilakukan di saat-saat yang sulit seperti malam itu.

“Papa udah bisa dihubungi?” tanya Erhardt berbisik.

Yang ditanya hanya menggeleng. “Panggilan di luar jangkauan, dari tadi gini terus,”

Elissa lagi-lagi memainkannya ponselnya, untuk yang kesekian kalinya ia menghubungi nomor yang sangat sulit untuk dihubungi.

Sebenarnya mereka sudah disuruh tidur oleh Mikasa, namun kedua remaja kembar itu tidak mungkin bisa tidur tenang ketika orang yang menyuruh mereka tidur malah terlihat gelisah.

Cowok bermata obsidian itu menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada dinding. “Gue kasian sama Mama, tiap hari nungguin Papa sampe larut malam,” ujarnya sendu.

Gadis bermata hijau emerald itu mendudukkan bokongnya pada salah satu anak tangga lalu bersandar pada pembatas tangga. “Papa tuh cinta banget sama tumpukan kerjaannya di kantor dan karena saking cintanya sampe gak ada keinginan untuk pulang!” cetus Elissa marah.

“Papa juga pernah gak pulang sampe dua hari 'kan? Ya karena apa? Karena kerjaan yang katanya gak akan pernah selesai,”

“Tapi pas itu, Papa ngasih kabar 'kan? Gak hilang kontak kayak sekarang ini,” Erhardt menyela. Tidak berniat untuk berdebat seperti biasanya.

Elissa membuang nafas kasar, ia berdiri lalu berjalan menuju kamarnya. “Gue mau ke kamar bentar, segera kasih tau gue kalo Papa udah pulang, ya,”

“Emang lo mau ngapain sampe harus gue kasih tau?”

“Mau gue pukul,” jawabnya seraya terus berjalan dan menghilang di balik pintu bercat putih itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, sudah semakin larut namun tidak ada tanda-tanda badai akan berhenti dalam waktu dekat. Sekarang hanya sisa-sisa hujan deras saja, tidak ada angin dan tidak ada lagi kilatan petir menyambar, suasana sudah jauh lebih tenang.

Tapi kegelisahan hati masih tidak kunjung reda seiring berjalannya waktu, Mikasa menopang dagunya dengan kedua tangan, masih dengan aktivitas yang sama, menunggu kabar dari Eren.

Erhardt juga setia duduk di tempatnya, mengirim banyak pesan serta puluhan panggilan untuk Papa tercintanya namun tidak ada satupun panggilan yang dijawab dan tidak ada satu pesan pun yang dibaca.

Sedangkan Elissa di kamarnya, ia masih terlihat kesal ke Eren untuk beberapa alasan. Pertama, sudah berani hilang kabar menyebabkan kegelisahan untuk Mikasa. Kedua, membuat mereka bertiga terjaga. Dan ketiga, telah membuat dia kesal, marah, cemas, khawatir, bingung di saat yang bersamaan walau Elissa sendiri tidak mau mengakui hal itu.

Benar-benar menyebalkan.

Ponsel Mikasa di meja itu menyala disusul nada dering yang spontan menarik perhatian pemiliknya. Mikasa menyambar ponselnya, melihat nama si pemanggil dan seketika itu juga semangatnya luntur.

Nama 'Kuda Kirsctein' yang tertera di sana. Wanita berdarah Asia itu mendengus, dengan nada malas ia menjawab panggilan temannya itu.

“Halo Jean,”

“Halo Mikasa! Apa kau bisa mendengar suaraku?! Halo!”

Suara Jean di seberang sana terdengar panik. Mikasa mengernyitkan alisnya. “Iya, suaramu sangat jelas, Jean. Kau kenapa?”

“Mikasa, aku bingung bagaimana cara menyampaikannya padamu tapi … ini tentang Eren,”

Jantung Mikasa berdebar lebih kencang daripada detik sebelumnya. Ia meneguk ludah dengan susah payah. “Eren kenapa, Jean?”

“Eren … dia … mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang Mikasa. Dan …,”

Suara yang biasanya terdengar ceria itu berubah sendu dan sangat pelan, mirip seperti nada seseorang yang merasa sangat bersalah.

“Dan apa?! Jean, jangan bertele-tele! Eren kenapa? Dia kenapa?!” tanya Mikasa dengan nada meninggi.

Kedua remaja yang juga ikut menguping itu semakin menajamkan pendengaran, mengasumsikan bahwa yang pembicaraan Mikasa dan Jean bukan tentang berita baik.

“Eren meninggal,”

Bersambung ...

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang