Mereka bisa dikejar dengan cepat karena Eren yang mengetahui seluk-beluk distrik Trost memilih mengambil jalan pintas, melewati gang-gang kecil, memasuki daerah jarang penduduk, melewati jalanan kecil di antara hutan, dan berakhir mereka kembali ke jalan utama di mana mobil Xavi berada.
Xavi berdecak kesal, menyuruh Ryan menginjak gas menambah kecepatan. Iris tortilla-nya tak lepas menatap tajam ke ketiga remaja yang hampir bisa menyaingi kecepatan mobilnya. Dan lagi-lagi, ia dibuat terkejut tatkala melihat si rambut berry, Floch, menyusul beserta sebagian anggota divisi 1 Black Lion. Terutama Kevind, kenapa kapten divisi 1 itu ikut-ikutan beserta dua orang yang paling berpengaruh di Black Lion, Darv dan Carol.
“Bagaimana bisa?!” geram Xavi, tangannya terkepal kuat lalu membenturkannya ke kaca mobil hingga retak.
Elissa yang menyadari hal itu menyunggingkan senyum. “Mungkin karena pelacak yang ada di ponselku,” ujarnya enteng, semakin menyulut api kemarahan Xavi.
“Gak mungkin, ponselmu ada di tanganku sudah aku nonaktifkan,”
“Oh, mungkin pelacak di ponselmu. Apa kau tak mau memeriksanya?”
Xavi merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan buru-buru menyalakannya. Benar, pelacaknya memang menyala. Mematikannya sekarang pun percuma, mereka sudah ketahuan.
“Bagaimana kau bisa mengetahuinya?” tanya Xavi dingin.
“Cuma sebuah keberuntungan aku bisa menebaknya,”
Levi menarik gas, mendahului Eren dan dalam sepersekian detik ia menyalip mobil Xavi. Mendekatkan motor yang dinaikinya ke sisi kiri mobil mengisyaratkan untuk menepi. Ryan yang tidak ingin terjadinya kecelakaan menurunkan pijakan gasnya dan menepi. Tepat setelah keluar dari hutan Pinus.
Mereka sampai di jalanan terbuka, di bawah mereka ada sungai kecil yang alirannya cukup deras dan banyak pohon-pohon berukuran besar tidak jauh dari sungai di bawah jembatan yang mereka pijak. Levi turun dari motornya menarik Ryan keluar dan menghajarnya habis-habisan, supaya ia tidak bisa lari. Memberikan semua serangan telaknya, tendangan keras, pukulan, tinjuan, memberikan serangan secara membabi-buta hingga Ryan tidak bisa membalas dan dihajar sampai pingsan.
“Sekarang giliranmu, Innocencio. Serahkan Elissa, dan kita selesaikan ini secara damai,” Levi memperingatkan, memperlihatkan deathglare-nya.
Selesai dengan Ryan kini Levi beralih ke Xavi yang menahan Elissa bersamanya. Ia menudingkan pisau dan mengarahkan bagian tajamnya dekat dengan leher Elissa.
“Diam di sana, Ackerman! Atau leher gadis ini akan kupotong!” ancamnya.
Rahang Levi mengeras, dia paling benci situasi tidak bisa berbuat apa-apa selain berfikir keras agar bisa menarik Elissa dari Xavi. Tidak lama setelahnya Eren menyusul, melihat pemandangan di depannya semakin membuat amarahnya naik sampai ubun-ubun. Ia melangkah maju, mulutnya terkatup rapat membentuk garis datar yang menutupi giginya yang sudah bergemeletuk karena ia masih menahan amarahnya saat itu juga. Erhardt yang tidak kalah panik dengan Elissa, juga naik pitam dalam sekejap, tak ada yang boleh membahayakan kembarannya itu.
“Eren, situasinya membahayakan. Kita lengah sedikit aja, nyawa Elissa bisa melayang,” gumam Levi berbisik.
“Kita lakukan apapun asal Elissa bisa kita bawa pulang,” balas Eren yakin.
“Lepaskan Elissa, Xavi, aku gak akan melakukan apapun padamu kalau kau melepaskannya,” Eren berujar tenang sembari terus melangkah mendekati Xavi yang berdiri dekat pembatas jalan.
“Kubilang jangan mendekat! Atau aku akan memotong lehernya!” Xavi perlahan berjalan mundur hingga paha belakangnya menyentuh pembatas jalan.
“Hiks … tolong … tolong aku, Eren,” Elissa menangis, ia begitu ketakutan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Back to The Past ✓
Fanfic[Book Three] [Complete] Lanjutan dari Dandelion. Disarankan baca Dandelion terlebih dahulu sebelum baca ini. Erhardt dan Elissa sudah tumbuh dewasa, dan gara-gara sebuah buku mereka melintasi waktu kembali lagi ke zaman orangtua mereka saat masih mu...