“Well, jadi bagaimana kencannya? Lancar?”
“Udahlah, gak usah dibahas!”
Tanpa diberitahu pun pasti sudah jelas siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab dengan nada kekesalan yang begitu kentara. Sudah enam hari berlalu, dan tinggal satu hari lagi maka mereka akan benar-benar pergi dari sana. Tidak ada Paradise yang jalanannya masih bisa terbilang cukup lengang, tidak ada Paradise yang mengenal mereka sebagai anak dari seorang pengusaha sukses, dan tidak akan ada lagi pertemuan dengan orang-orang yang mereka sayangi sebagai teman sebaya.
Begitu mereka kembali maka akan disambut oleh Paradise sebagai negara yang sangat maju dengan perkembangan teknologi yang tidak main-main, aman tanpa harus ketakutan atau was-was dengan musuh yang mengawasi dari kejauhan. Jujur saja, mereka belum siap untuk yang satu ini, masih ada beberapa hal yang ingin mereka lakukan.
Tadi saat di sekolah, suasana kelas dari yang semulanya berisik dan penuh canda tawa berubah tegang bercampur sedih hanya karena mereka berpamitan. Sasha sampai memeluk mereka sangat erat, dan tangisannya pecah seolah ditinggal oleh orang yang sangat ia sayangi. Padahal nyatanya, toh di masa depan nanti mereka akan bertemu lagi. Si Botak Connie juga kehilangan semangat, bahkan hari ini ia absen menjahili Jean karena perubahan suasana hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Armin yang sebelumnya sudah tahu perihal kepulangan dua remaja kembar itu, tetap saja ia kesulitan untuk percaya. Eren dan Mikasa? Jangan ditanya, tentu saja yang paling berat hati adalah mereka.
“Kasih tau kek, emang apa susahnya sih?” Erhardt bersikeras ingin mengetahui apa saja yang terjadi di malam pemenuhan janji Levi ke Elissa.
“Susah! Ya makanya itu gue gak mau kasih tau!” Elissa juga bersikeras tidak ingin mengatakan apapun.
“Emang apa susahnya? Jangan bilang kalo Paman Levi nangis-nangis memohon supaya kita gak pulang,” tebaknya asal.
Mata Elissa membulat. “Iya! Memang itu yang terjadi, puas!” dan tebakan itu tepat sasaran. Tanpa Elissa sadari bahwa ia sudah keceplosan. “Makanya gue gak mau bahas tentang malam itu lagi, jadi jangan paksa gue jelasin apapun karena lo secara gak langsung udah tau,”
Erhardt merengut, untuk pertama kalinya ia merutuki kemampuan tebak ngasal tepat sasaran miliknya. Seandainya ia tidak menebak tadi, pasti ia bisa sedikit memaksa Elissa untuk cerita.
“Tapi ada hal lain yang terjadi,” kata Elissa. “Paman Levi udah tau soal masa depannya,”
“Hah? Maksudnya gimana?”
Flashback on–
“Waktu itu saat di distrik Utopia, aku gak sengaja mendengar pembicaraan kalian terkait dengan ramalan masa depan atau apapun sejenisnya. Aku … juga ingin diramal begitu, apa bisa?” tanya Levi penuh harap.
“Bisa, tapi kau mungkin gak akan percaya, Levi,” Elissa tampak ragu, pasalnya masa depan Levi bukanlah masa depan yang baik.
“Aku ingin mendengarnya dan ingin percaya,”
“Kau yakin?”
“Kutebak pasti ramalannya gak bagus,”
Elissa mengangguk lalu mengatur nafasnya. “Maaf tapi … kau akan mati di usia 25 tahun karena … mendonorkan jantung untuk Eren. Hanya itu, yang bisa kukatakan. Maaf Levi, aku benar-benar minta maaf,”
Raut wajah Levi tidak bisa diartikan. Ia terkejut tapi juga kecewa sekaligus senang, setidaknya kematiannya mungkin berguna untuk kehidupan orang lain. Dan dia ingin mempercayainya.
“Terima kasih, kau tak perlu meminta maaf. Dan aku percaya,”
Flashback off–
Elissa menyelesaikan cerita singkatnya dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, kepalanya didongakkan seakan ia melepas beban yang berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to The Past ✓
Fiksi Penggemar[Book Three] [Complete] Lanjutan dari Dandelion. Disarankan baca Dandelion terlebih dahulu sebelum baca ini. Erhardt dan Elissa sudah tumbuh dewasa, dan gara-gara sebuah buku mereka melintasi waktu kembali lagi ke zaman orangtua mereka saat masih mu...