Epilog

332 21 4
                                    

Seminggu kemudian ....

Kedamaian hati dan pikirannya tentu saja didapat setelah badai besar yang menerjang perlahan sirna digantikan oleh cahaya harapan bahwa hari esok akan jauh lebih baik dari hari ini. Dan harapan itu muncul, dalam bentuk masalah yang sudah terselesaikan dengan hasil yang sangat memuaskan hati.

Tentu kedamaian itu juga didapat kalau kita juga harus berani berkorban. Erhardt berani mengorbankan dirinya, tapi otak cerdasnya tidak membuat pengorbanannya itu juga berimbas pada dirinya. Yang jelas, keberaniannya itulah yang merubah sebagian besar masa depan.

Pagi-pagi sekali Elissa sudah turun  dari lantai dua menuju ruang makan, di sana ada keluarganya yang menunggunya. Erhardt berdiri di depan cermin yang menempel di dinding berada tidak jauh dari pintu dapur, sibuk memakai dasi sekolahnya dan sedikit merapikan rambutnya. Eren sedang membaca korannya, kumis dan jambang tipis sudah dibabat habis dari wajahnya hanya menyisakan wajah yang sudah sedikit ada kerutan namun tetap tidak menggoreskan ketampanannya. Mikasa sibuk menyajikan makanan di meja makan, rambut panjangnya diikat dan sudah mulai terlihat beberapa helai rambut putih di sana. Menandakan usianya yang tidak lagi muda tapi wajah oriental itu tetap saja memancarkan kecantikannya.

“Selamat pagi Papa,” sapa Elissa seraya mencium pipi Eren dan pipi Mikasa.

“Selamat pagi juga, Sayang,” jawab Eren dan Mikasa serentak.

Elissa lihat Eren yang sudah meletakkan korannya, senior Jaeger itu hanya memakai kaus biru sedikit basah karena keringat dan celana training, pasti Papanya itu baru selesai olahraga. “Papa gak berangkat ke kantor?” tanyanya heran.

Eren meminum habis teh hangatnya yang tinggal setengah di cangkirnya, lalu meletakkan kembali cangkirnya. “Papa sengaja ambil cuti, capek juga setiap hari ngurusin kerjaan yang gak ada habisnya. Dan daripada Papa stress, yaudah cuti aja sekalian,”

“Sampe berapa lama Pa?” tanya Erhardt yang sudah menduduki kursinya.

“Sampe beban pikiran Papa hilang. Alah, tapi nanti 'kan urusan kantor bisa kalian yang nerusin kalo Papa udah pensiun,”

“Gak Pa, terima kasih. Kantor Papa terlalu besar dan banyak cabangnya,” Elissa menolak, ia mulai mengolesi selai cokelat ke roti bakarnya. “Mending Erhardt aja yang nerusin, dia lebih cocok. Mau 'kan, Hardt?”

Erhardt hanya menjawab dengan dehamannya.

Ara-ara, sekolah dulu yang bener, tamat SMA ambil kuliah sesuai jurusan yang kalian kuasai, baru setelah itu wisuda lalu kerja. Kerja yang sesuai kemauan dan kemampuan kalian juga. Masalah perusahaan nanti aja itu, bahkan umurmu aja belum sampe 45 tahun Eren, kamu lama lagi pensiunnya,” Eren terkekeh saja mendengar penuturan istrinya itu, ia mengambil roti tawar yang tidak jauh darinya lalu langsung memakainya.

Erhardt sudah menghabiskan rotinya lalu beralih ke Mikasa yang duduk di depannya masih sibuk dengan sarapannya, begitupun dengan Eren. Ia membuang nafas, sudah sejak lama ia ingin menanyakan ini. “Di mana Angela, Pa, Ma?”

“Siapa Angela? Pacar kamu?” tanya Mikasa balik.

“Kamu udah punya pacar Hardt?” tanya Eren lagi. “Kok gak pernah cerita ke Papa sih?”

Eh? Reaksi yang didapatnya tidak seperti yang diharapkannya. Ada apa? Elissa memegang punggung tangannya, lalu menggeleng. Bahkan Elissa sudah menyimpulkan jawabannya. Tidak ada yang mengenal Angela di sini, pasti karena pengaruh dari kematian Xavi juga. Erhardt menunduk lalu menggeleng. “Bukan pacar, cuma teman. Dia pindah sekolah karena ngikut kerjaan Papanya. Jadi kemarin katanya dia mau ke sini mau pamit, eh rupanya gak datang,” bohongnya pahit.

“Oh gitu, terus? Orangnya gimana? Cantik?” tanya Eren antusias.

“Eh?” Erhardt gelagapan. “Biasa aja, Pa. Cantikan Elissa,” jawabnya ngasal, Elissa tertawa keras menyikut lengannya.

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang