15. Buku Kuno

150 21 4
                                    

Hujan rintik-rintik mengiringi berakhirnya upacara pemakaman. Para pelayat telah berangsur-angsur membubarkan diri dan meninggalkan kedua remaja yang masih setia bersimpuh di sisi makam.

“Kenapa Papa pergi secepat ini?”

Erhardt bertanya lirih. Matanya bengkak setelah menangis semalaman.

“Aku bahkan belum sempat meminta maaf,” timpal Elissa. Matanya berair, menyiratkan kesedihan mendalam. Dia telah hampir kehabisan air mata saat ini. Sisa-sisa lelehannya kini tergantikan oleh air hujan yang semakin deras berjatuhan menimpa wajahnya yang bergaris lembut dan cantik namun tercoreng oleh rasa kehilangan.

“Untuk perdebatan kita kemarin aja, Lissa masih belum minta maaf ke Papa. Apa Papa semarah ini sampe ninggalin Lissa gitu aja?” dia terus mengoceh seolah-olah Eren bisa mendengarnya.

Hujan turun semakin deras namun Jaeger bersaudara itu masih betah berada di sana. Tanpa peduli hawa dingin dan basah yang menyentuh kulit. Mereka masih ingin berbincang dengan Eren meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak lebih berbicara di depan nisan yang bertuliskan nama Eren Jaeger di sana.

“Kupikir, kita bisa kembali berkumpul bersama kalo Papa udah gak sibuk lagi,” suara Erhardt tercekat akibat menahan isak tangis. “Tapi, siapa yang menyangka kalo kemarin pagi adalah saat terakhir kali kami bisa ngeliat dan ngobrol sama Papa,”

Tanpa bisa ditahan lagi, Erhardt kembali menangis. Kepergian sosok Eren benar-benar menjadi pukulan telak yang menghantam relung hatinya hingga hancur berkeping-keping. Elissa, gadis itu menangis dalam diam, setiap detail saat ia bertengkar dengan Eren kembali memenuhi otaknya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau itulah saat terakhir ia mengobrol dengan Eren, itupun dengan kata-kata kasar dan diakhiri pengakuan benci yang dengan mudahnya keluar dari mulutnya. Menyesal, tentu saja, tidak mungkin dia tidak menyesal setelah yang terjadi.

Mendengar berita kematian Eren pun membawa dampak besar bagi kehidupan Mikasa, wanita itu pingsan dan sekarang harus dirawat di rumah sakit karena syok berat, tidak perlu khawatir ada Angela, Sasha, Annie, Pieck, Zeke dan Yelena yang menemaninya. Keluarga Zeke di saat yang sama telah mendengar berita tentang Eren, mereka langsung menuju Paradise dengan penerbangan tercepat.

“Sudah terlambat jika ingin meminta maaf, bukan?” lirihnya.

“Erhardt, Elissa,”  suara seseorang menegur mereka di tengah deras rintikan hujan. Mereka menolehkan kepala.

“Paman Armin,”

“Ayo pulang, Paman akan mengantar kalian,” di saat yang sama, Armin telah melindungi mereka dari hujan dengan sebuah payung hitam di tangan.

Mereka bersitatap dengan Armin, mata pria paruh baya yang biru itu menyorot redup, dingin dan terlihat gelap, bisa mereka rasakan bahwa Armin juga kehilangan sahabatnya. Eren Jaeger. Sahabatnya sejak kecil telah meninggalkannya selama-lamanya. Mereka juga ingat, bahwa yang menangisi kepergian Eren tidak hanya mereka para sahabatnya, karyawan kantor, dan orang-orang terdekat Eren lainnya. Kepergian Eren menimbulkan luka dan duka mendalam bagi pihak yang ditinggalkan.

“Ayo pulang,”

Bagaikan perintah mutlak, mereka beranjak bangkit perlahan. Armin mengulurkan tangan, bisa dirasakannya betapa dinginnya tangan mereka berdua yang menggigil akibat hawa dingin. Kemudian mereka berjalan menuju mobil Armin yang terparkir di luar gerbang pemakaman. Setelah kedua Jaeger kembar itu sudah masuk mobil, Armin berlutut dan memeluk nisannya Eren seolah ia memeluk sang sahabat.

Cukup lama Armin bergeming dalam posisinya, ia pun melepaskan pelukannya bersamaan dengan air mata yang menetes.

“Selamat tinggal Eren, semoga kita bisa bertemu lagi nanti,” pamitnya.

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang