7. Kecurigaan

130 14 1
                                    

Gadis berambut pirang itu tampak setia menunggu kepulangan Papanya yang sebenarnya ia tidak tahu apakah Papanya itu akan pulang atau tidak. Ia menoleh ke jam dinding, sudah pukul 8 malam namun masih tidak ada tanda-tanda kepulangan Xavi. Ia menghela nafas panjang, kesibukan Xavi sebagai seorang pengacara tidak membuatnya sama sekali pulang terlambat melainkan obsesi berlebih pada keluarga kedua teman kembarnya di kelas, keluarga Jaeger.

Di mansion keluarga Innocencio yang besarnya minta ampun itu, Angela kesepian. Tidak ada sosok ibu yang seharusnya ada menemaninya saat ini karena Mamanya sudah meningal dunia sesaat setelah melahirkannya hingga menjadikan Angela memiliki keyakinan bahwa Xavi membencinya. Dan keyakinannya itu benar, mereka jarang berkomunikasi, jarang bertemu, sama sekali tidak pernah menghabiskan waktu bersama dan Xavi tidak segan-segan melakukan kekerasan kalau dia melakukan kesalahan meskipun kesalahan itu sangat kecil, dan Angela juga tahu bahwa Xavi sengaja menjaga jarak dengannya hingga 15 tahun lamanya.

Setiap harinya, ia hanya akan ditemani para maid atau buttler yang bekerja, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan ikut membersihkan mansion atau belajar di perpustakaan kota. Angela akan menyibukkan diri dengan melakukan apa saja, selama ia bisa sedikit melupakan rasa kesepiannya.

Dan malam ini sebagian maid yang sibuk bekerja terkadang memperhatikan nona muda mereka itu, dan dalam hati selalu timbul rasa kasihan atas apa yang sudah dialami Angela. Sedari kecil, ia sudah mendapatkan didikan yang sangat keras namun tidak bermoral dari Xavi.

Contohnya saat Angela baru berusia 5 tahun, secara tidak sengaja ia memecahkan piring dan langsung mendapatkan tamparan keras di pipi hingga giginya putus. Atau misalnya dia secara tidak sengaja mengotori lantai akibat makanan atau minumannya tumpah, maka ia akan dikurung di kamar mandi berukuran 1x1 meter selama 2 hari penuh tanpa diberi makan atau minum. Dan begitulah tahun-tahun berlalu dengan cepat dan seiring berjalannya waktu ada banyak juga luka yang digoreskan Xavi ke anak semata wayangnya itu, tidak hanya luka fisik atau hati, tapi juga batinnya.

Satu hal yang hanya Angela harapkan dari kehidupannya, Xavi bisa berubah dan memperlakukannya seperti Ayah memperlakukan anak mereka pada umumnya, namun hal itu seperti mustahil dalam hidupnya.

Deru klakson mobil memecah lamunannya, Angela beranjak dari tempatnya dan berlari kecil ke pintu utama mansion yang terbuka di mana para maid dan buttler berbaris rapi menyambut kepulangan sang tuan besar. Xavi Innocencio.

Bibir peach tipisnya mengulas senyum. “Selamat datang, Papa,” sambutnya hangat tetap dengan mempertahankan senyumannya.

Xavi yang dalam keadaan kacau tidak membalas, ia berlalu begitu saja, lebih memilih tidak melihat keberadaan Angela di dekatnya. Angela sudah terbiasa diacuhkan seperti ini, Xavi memang tidak pernah mau meliriknya walau hanya dari ekor mata saja, kehadirannya selalu dianggap tidak ada. Tapi untuk kali ini, dia tidak ingin menyerah, dia hanya ingin Xavi meliriknya meskipun sekilas.

“Sini Pa, kubawakan tasnya. Papa pasti capek 'kan? Sudah kubuatkan air hangat untuk Papa mandi, atau barangkali Papa lapar, jadi makan malam akan kusiapkan. Tu–”

PLAK!!

“Diam kau, berengsek!!” Xavi menampar keras membuat Angela tersungkur ke lantai hingga hidung dan sudut mulutnya berdarah. Telinganya berdenging, kepalanya pusing, pandangannya buram akibat air mata yang hampir lolos pelupuk matanya.

Para maid dan buttler yang mendengar suara tamparan itu tersentak di tempat, apalagi mereka hanya bisa diam menyaksikan nona muda mereka yang meringis memegangi pipi yang telah merah, panas dan terasa nyeri.

Tidak diam sampai di situ, Xavi mencengkeram kuat pipi Angela hingga tubuhnya sedikit terangkat, iris kuning daffodil milik Xavi memelototinya tajam, semakin membuat Angela ketakutan. “Jangan coba-coba masuk ke kamarku lagi atau riwayatmu akan tamat,”

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang