17. Welcome to SMA Shingeki

135 17 7
                                    

Keesokan harinya, tentu menjadi pagi baru bagi kedua remaja yang masih bingung dengan keadaan yang terasa dijungkir-balikkan oleh takdir. Di masa depan mereka sudah kehilangan Eren sedangkan di masa lalu mereka kembali dipertemukan oleh Eren yang masih sebaya mereka. Apakah takdir begitu kejam karena telah mempermainkan perasaan? Tidak ada yang tahu.

Namun bagi Erhardt ia sempat bertanya-tanya di dalam hati, “Di sini Papa sama Mama jadi anak remaja kayak kami, jadi manggil mereka pake nama dosa gak sih?”

Ia sudah pusing kepala memikirkan jawabannya.

Sedangkan Elissa ia tidak berhenti merutuki kecerobohannya menerima buku aneh itu begitu saja dan ketika pagi ini ia kembali membuka buku itu ada satu kalimat perintah yang tertulis di sana.

Selesaikan masalah yang ada.

Lalu beberapa detik setelahnya tulisan itu menghilang, kembali menjadi lembaran buku yang kosong.

“Sa, mikirin apa sih?” Erhardt menepuk bahu kembarannya itu saat Elissa duduk termenung di bawah pohon halaman belakang rumah.

“Mikirin cara supaya kita bisa pulang,” jawabnya.

Erhardt mengambil posisi duduk tepat di sebelah gadis itu. “Walaupun di sini enak, tapi gak selamanya kita bisa di sini 'kan? Iya sih, gue juga mikirin cara pulang. Eh ngomong-ngomong, lo udah ngobrol apa aja sama Mama?” tanya cowok itu lagi antusias.

Elissa menggeleng pelan. “Gak ada ngobrol apapun, lo sendiri? Udah ngomongin apa aja sama Papa?”

“Banyak hal yang kami bicarakan, eh kayaknya pas Papa masih remaja lebih mirip gue deh, soalnya selera film kami sama. Tadi malam tuh, kami nonton … Squad Game, seru bet filmnya dan kami lanjut ngobrol panjang lebar sampeeeee jam 3 pagi,”

“Sampe segitunya?”

“Woiya dong, jelas! Gue 'kan anaknya asik, jadi gaul sama siapa aja pasti mudah, lagian … gue 'kan ngobrol sama Papa, jadi … nyaman dan nyambung aja gitu, berasa ketemu temen sefrekuensi tau gak,”

Elissa terkekeh kecil dan Erhardt tersenyum lebar, keduanya mendongakkan kepala menatap langit biru cerah di atas sana menandakan musim dingin akan segera berakhir di bulan Maret ini digantikan oleh musim semi yang hangat dan merupakan awal dari masuk sekolah bagi siswa tahun ajaran baru. Kalau di masa depan, sekarang pasti sudah bulan Juni dan kedua remaja itu mengetahui bahwa mereka mundur ke beberapa bulan sebelum sekolah kembali di buka, mereka sedikit lega tidak memikirkan bagaimana sekolah mereka di sini karena sekolah mereka di masa depan saja pasti terbengkalai.

“Tapi, gimanapun juga kita jangan sampe merubah masa lalu karena pasti akan berpengaruh ke masa depan, 'kan? Gue gak mau karena kecerobohan kita di sini, kita kehilangan Mama juga di masa depan,”

Elissa mengangguk setuju, sekumpulan burung terbang di atas sana menjadi sorot perhatian manik hijau emerald gradasi kebiruan yang terlihat semakin cantik karena warna kuning keemasan muncul tatkala cahaya matahari mengenai matanya.

“Tapi, masalah yang menimpa keluarga kita gue masih belum bisa terima gitu aja. Meskipun yang diincar itu Papa, ada kemungkinan kita belum tentu aman 'kan? Terutama Mama, gue … gak yakin Mama bisa hidup tenang sekarang,” Erhardt mengangguk. “Tapi apa yang membuat Xavi Innocencio tuh terobsesi banget buat ngancurin keluarga kita?”

“Dendam,” gumam Erhardt.

“Apa?”

“Orang itu dendam sama Papa karena …,”

“Erhardt! Elissa! Lo berdua ngapain di sini? Gue cariin dari tadi juga!” ucapan Erhardt terputus ketika seruan Eren terdengar dan cowok itu berlari menghampiri mereka.

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang