"Zidan cuma pengen dimengerti, sesulit itu kah?"
Dan semuanya jadi rumit karena Zidan.
Kenapa?
Kenapa semuanya terjadi hanya karena Zidan ingin dimengerti? Seegois itu kah Zidan?
Karenanya, seseorang harus berkorban dan dikorbankan untuk ini.
Story...
Haikal menatap Dimas dengan mata merah yang terlihat sembab dan berair, ditangan kirinya terdapat sebuah pisau kecil yang ia ambil dari semangkuk buah-buahan di meja. "Mana Renjun?!"
Dimas terhenyak. "Renjun... Udah nggak ada Haikal, Haikal harus ikhlas ya?"
"RENJUN BELUM MENINGGAL!!! KALAN SEMUA KETIPU!! NGGAK! RENJUN NGGAK MENINGGAL!!! DIA PASTI LAGI BIKIN KEJUTAN BUAT HAIKAL.... DIA—dia selalu ada buat Haikal... Renjun nggak mungkin pergi... Renjun nggak pergi."
Tubuh Haikal meluruh, ia terduduk diatas lantai. Dimas yang melihat kesempatan itu langsung mendekati Haikal dan merampas pisaunya, direngkuhnya adik bungsu kesayangannya itu. "Haikal... Dengerin abang... Renjun... Udah nggak ada, Haikal harus ikhlas. Meskipun Renjun udah pergi, dia selalu ada sama Haikal, nggak disini. Tapi ada disini."
Haikal menatap Dimas kala kakaknya mengarahkan tangannya pada dada Haikal. "Bang... Kenapa semuanya pergi ninggalin Haikal? Apa Haikal nakal banget? Haikal kelewatan ya bercandanya?"
"Kal..."
"Ayah, Bunda, Bang Zidan, Renjun... Semuanya pergi ninggalin Haikal. Apa abis ini abang juga bakal ninggalin Haikal?"
Dimas menggeleng, ia mengeratkan pelukannya pada Haikal. "Nggak Haikal, abang bakal selalu sama Haikal. Abang janji."
Haikal menurunkan pandangannya. "Dulu semuanya juga bilang gitu ke Haikal, tapi apa? Mereka pergi. Pembohong."
Dimas menyerahkan sebuah kanvas berisi lukisan yang dibuat dnegan cat air pada Haikal. Haikal melihat lukisan itu lamat.
"Hendery bilang, sehari setelah Renjun bangun dari koma. Dia buat ini untuk Haikal, Sahabat sejatinya."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.