15. Don't Leave Me

1.1K 182 14
                                    

Mata coklat itu masih terus terbuka memandangi suasana malam kota dari balkon kamar, kantong mata pun sudah terlihat disana menandakan jika gadis itu butuh tidur. Tapi apa daya dirinya yang kini masih terjaga, dengan pikiran yang mampu membuatnya gila kapan saja.

Perasaan tidak enak dengan penuh kekhawatiran memenuhi benaknya saat ini, entah dari mana perasaan itu kini dirinya tidak tahu. Sudah dua hari semenjak Ibunya di rawat, dan sudah dua hari pula dirinya tidak bertemu dengan Sang Kakak.

Bahkan Ayahnya pun sama sekali tidak berniat untuk mencari gadis itu, jika tau semua ini akan hancur begitu saja. Pasti saat itu Rosé akan melarang semuanya terjadi, ia hanya butuh keluarga yang hangat. Tapi disaat dia mendapatkannya, semuanya hacur begitu saja seolah-olah tuhan tak mengizinkan dirinya merasakan apa yang orang rasakan dengan keluarga lengkapnya.

Dengan sekejap menungan Rosé terpecah belah, saat suara nyaring dari ponsel genggamnya itu berbunyi.  Rosé hanya mengerutkan dahinya bingung, ia tidak tau nomor siapa yang kini terampil pada layar ponselnya.

Dengan gerak ragu, ibu jari itu pun mulai menekan ikon telfon berwarna hijau dan segera membawanya menuju gendang telinganya. "H-hallo?" Rosé berujar dengan nada sedikit terpotong.

"Ini siapa?" Lanjutnya setelah tak kunjung mendapatkan balasan di sebarang sana.

Hanya ada suara berisik yang di dengar telinganya, dan suara nafasnya yang terdengar memburu tak beraturan. "Sayang, bisakah kau kerumah sakit sekarang?"

Ternyata itu Ayahnya, Rosé hampir saja lupa jika di ponselnya hanya ada dua nomor yang ia simpan. Ibunya dan juga Kai selaku teman kerjanya dulu. Dan kini jantung Rosé berdetak dua kali lebih cepat, saat Ayahnya itu menayakan dirinya untuk bisa datang ke rumah sakit atau tidak.

"Ada apa? Apakah terjadi sesuatu di sana?" Tanya Rosé dengan penuh kebingungan. Padahal lelaki itu yang mati-matian untuk menyuruhnya pulang tadi, tapi sekarang lelaki itu pula yang menyuruhnya untuk datang kembali.

"Eomma... dia sedang keritis, sekarang dia sedang di tangani oleh dokter. Jadi bisakah sekarang kau kesini sayang?"

Bibir itu seketika keluh, dengan segera ia mematikan sambungan itu secara sepihak. Rosé segera bangkit dari duduknya, kaki jenjangnya kini berlari dengan amat kuat. Kini Rosé tahu apa penyeban dari rasa tak enak ini.

"Tuhan dia satu-satunya orang yang ku punya saat ini, tolong biarkan dia sembuh masih banyak cita-citaku yang belum ku wujudkan untuknya" Walau kini perasaannya sedang bercampur jadi satu, tapi Rosé masih selalu berdo'a yang terbaik untuk Ibunya. Walaupun saat ini dirinya sedang tak fokus.

..........

Nafas itu sudah memburu tak beraturan, wajah yang penuh kekhawatiran itu kini sudah di banjiri oleh keringat dingin. Hingga tak lama langkah kaki itu berhenti tepat di sebuah ruangan yang bertuliskan IGD. Sedikit menghela nafasnya, dan memperbaiki sedikit penampilannya.

"Dimana, Eomma?" Gadis itu berseru seraya berjalan mendekat.

Dua orang yang tengah duduk dikursi tunggu nampak menatapnya dengan bersamaan, seorang lelaki paruh pun bangkit. Berjalan menuju gadis itu dan bersiap untuk memberikan sebuah pelukan hangatnya.

"Dimana, dia?" Lanjutnya lagi yang tak kunjung mendapatkan balasan dari dua manusia yang berada disini.

"Sayang, tenang--"

"Katakan saja dimana, Ibuku!" Nada itu terdengar begitu tinggi dan keras.

Ingatkan Song Jongki jika ini kali pertamanya, putri bungsunya ini membentak dirinya. Bahkan ini juga kali pertamanya lelaki paruh itu melihat wajah kemerahan marah milik putrinya ini.

"Dokter sedang menanganinya di dalam"

Rosé, gadis itu sedikit menolehkan kepalanya melirik seorang gadis yang kini sudah bangkit dari duduknya. Itu Jennie, kakaknya. Rosé sedikit terkejut saat mendapati Kakaknya disini, sebab sudah dua hari gadis itu tidak ada kabar.

Tanpa menunggu lama, Rosé segera berlari menerobos masuk pintu IGD. Dimana sudah terdapat dua orang perawat yang berjaga. Namun gadis itu cukup kuat untuk menerobos masuk.

"Minyikirlah sialan! Aku hanya ingin melihat Ibuku!" Entah sadar atau tidak, tapi saat ini Rosé sudah tidak bisa menjaga kalimat bahkan emosinya.

"Sekarang kau puas, Jennie-ya?"

Song Jongki tersenyum miris menatap putri sulungnya, sedang gadis yang kini sedang di tatap itu hanya diam membisu. Jennie, gadis itu kini merasa sangat bersalah. Namun, ia cukup gensi untuk meminta maaf. Terlebih ia berfikir jika prilaku yang ia lakukan itu benar.

"Appa--" Baru satu kata itu yang terlontar, tapi ucapannya terlebih dahulu terhenti saat Song Jongki mengangkat sebelah tangannya. Menandakan jika ia tidak ingin mendengarkan apapun.

"Appa, lelah. Sekarang berbahagialah karena sudah membuat Ibu kandung mu kritis di dalam sana"

Menepuk pelan pundak gadis cantik itu, setelahnya pria paruh yang sudah cukup kacau penampilannya itu ikut menyusul kepergian putri bungsunya melihat keadaan istri tercintanya. Dan kini hanya menyisakan Jennie seorang yang tengah terdiam di tempat.

..........

Pemakaman telah usai, namun rumah duka itu masih terus ramai orang yang berdatangan, bahkan kini hari sudah semakin sore namun tak menutup kemungkinan orang yang datang untuk berduka itu semakin dikit.

Kini di dalam sebuah ruangan hanya ada Jennie dan Song Jongki duduk di sana, sedangkan Rosé? Gadis itu sudah pergi entah kemana dan itu mampu membuat Song Jongki merasa khawatir dengan keadaan putri bungsunya itu.

Rosé, tidak ikut serta duduk disini. Gadis itu menolaknya, dengan alasan semua orang dan media di luar sana pasti akan bertanya-tanya tentang dirinya. Dan ia pun memilih untuk sebagai seorang tamu.

Disini, di taman belakang rumah duka. Rosé sedang menumpahkan seluruh rasa sesal dan kesedihannya pada dada bidang milik pria yang sudah ia anggap sebagai kakak lelakinya. Mata coklat itu kini sudah sedikit membengkak, akibat tangisan yang tak kunjung berhenti.

"Sudah lelah?" Pertanyaan dari pria itu terlontar saat suara isak itu sudah tidak terdengar di telinganya.

Sedang seorang yang menghasilkan suara isakan itu hanya diam seraya mencoba mengatur nafasnya yang terasa sesak. "Oppa, apa tuhan tidak mengizinkan ku untuk bahagia?"

"Apa yang kau bicarakan? Tuhan membawa Eomma itu tandanya sayang. Dengan begitu Eomma tidak akan merasakan sakit lagi seperti di dunia" Ujar pria itu berusaha menguatkan gadis lemah ini.

"Arra, tapi aku belum siap kehilangannya. Semua menjadi hancur berantakan begitu saja, dan sekarang aku seperti orang yang tak memiliki tujuan hidup"

Kini Rosé merasa dirinya hanya sendiri, selayaknya sebatang kara. Padahalnya nyatanya gadis itu masih memilik Ayah dan dan seorang Kakak perempuan. Tapi sepertinya Rosé melupakan itu saat kejadian dimana membuat hati Rosé terluka saat ini.

"Kau masih memiliki, seorang Ayah dan Kakak perempuan. Jangan kau lupakan itu"

"Mereka bukan keluarga setelah ini" Kai hanya diam, begitu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada gadis malang ini tapi seperti sekarang bukan waktu yang tepat.

"Kau lupa ada aku, Oppa mu"

Kai mengulurkan tangannya, mengusap kasar surai bolnde itu dengan penuh kasih sayang. Rasa sanyang Kai pada Rosé tetap sama dan tidak akan berubah, dan itu akan berlaku selamanya pada pria ini. Rosé hanya menampilkan senyuman tipisnya seraya mempererat pelukannya pada pria itu.

Dan kini tanpa mereka berdua sadari jika seorang gadis dengan sebuah paper bag di tangannya memandang mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. Niatan untuk menemui Rosé, terpaksa ia hentikan saat melihat keduanya.

Jambi, 02 september 2021

Don't Leave Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang