Seharusnya ini akan menjadi acara yang spesial, tapi setelah kehilangan belahan jiwanya acara yang tadinya sangat di tunggukan ini menjadi biasa saja. Hari ini tepat dua hari kepergian Song Hye Kyo dari dunia, dan hari ini juga tepat 27 tahun usia seorang Song Jennie.
Dua hari semenjak itu, gadis berambut bolnde ini selalu pergi pagi dan pulang larut malam. Ia sengaja melakukannya karena tak lain untuk menghindari kontak langsung dengan sang Kakak maupun Ayahnya. Terlebih dirinya dapat melihat dan merasakan sikap tak senang dari Kakaknya itu.
Kini sore ini, dirinya sudah di jemput oleh seorang supir pribadinya. Karena acara yang akan mengagetkan seluruh orang akan segera di mulai dalam beberapa jam lagi. Kini keadaan taman belakang mansion begitu indah, terdapat lampu warna warni yang menghiasi di setiap sisi.
Dan kini sudah terdapat sebuah kue ulang tahun dengan 6 tingkat, tak lupa beberapa makanan berat maupun cemilan yang sudah tersusun rapih di masing-masing tempat. Setelah puas memandangi halaman luas dari balkon kamarnya.
Rosé gadis cantik yang sudah siap dengan gaunnya itu, berjalan masuk. Mulai memandang sejenak sebuah lukisan indah yang sudah jadi itu. Ia tampak ragu-ragu untuk membawa hasil karya tangannya itu. Namun jika begitu, Rosé pun segera meraihnya dan mulai membawa lukisan itu menuju kamar yang berada di sebelahnya.
Walaupun pintu kamar itu sedikit terbuka, namun Rosé dengan sopannya mengetuk pelan pintu itu. Dan kini sudah ada seorang gadis cantik di hadapannya dengan tatapan tak sukanya. "S-selamat ulang tahun... maaf hanya bisa memberikan mu ini" Seraya berucap, Rosé memberikan lukisan jerih payahnya itu tepat kehadapan gadis berpipi mandu itu.
Pranggg~
Awalnya Rosé cukup senang karena Jennie gadis itu masih mau menerima barang pemberiannya, tapi harapan itu terpatahkan saat dengan kedua bola matanya Rosé menyaksikan bagaimana gadis itu melempar lukisan itu, bahkan sampai menginjaknya.
"Kau pikir aku akan sudi menerimanya? Lakukanlah hal yang sedikit lebih berguna, seperti pergi dari rumah ini!" Setelah mengucapkan kalimat yang cukup membuat hati Rosé hancur, gadis itu pergi meninggalkan dirinya yang kini hanya mampu menghela nafasnya pasrah.
Dengan sedikit menghapus setetes air mata yang mengalir dari sudut matanya, Rosé kembali meraih lukisan itu dan kembali membawanya ke dalam kamarnya. "Kau lihat Eomma? Putri sulungmu? Aku tidak bisa bertahan jika seperti ini" Gumam Rosé yang duduk di sisi ranjang, dengan beberapa tetes air mata yang mengalir.
..........
Acara berjalan begitu meriah, namun Song Jongki terlihat begitu tak fokus. Bagaimana tidak, tinggal 15 menit lagi acara inti akan segera di mulai. Namun putri bungsunya itu menghilang begitu saja. Padahal saat acara pembukaan, dan tiup lilin, gadis itu masih terlihat dari balkon kamarnya.
Tapi sekarang? Rosé sudah tidak ada di mana-mana. Semua pekerja mencari gadis itu di setiap sisi rumah, namun hasilnya nihil. Tidak ada Rosé disana. Dan kini Song Jongki berusaha menelfon ponsel genggam putri bungsunya. Namun sialnya ponsel yang biasanya di bawa oleh gadis itu malah terlihat sengaja di tinggalkan di atas kasur.
Dengan beberapa barang lainnya, seperti kunci mobil, dompet, dan juga kartu ATM. Kini para tamu undangan sedang menikmati hidangan mereka, tapi Song Jongki masih sibuk mencari informasi keberadaan putrinya itu.
"Dimana gadis itu? Apa yang ada dipikirannya? Sebentar lagi acara inti akan segera di mulai" Sayangnya kalimat itu hanya terlontar di dalam benak Jennie.
Ia khawatir tapi ia juga ia tak senang melihat kehadiran adiknya itu. Namun saat melihat bagaiman khawatirnya sang Ayah, Jennie sekarang tau bagaiman sayangnya Ayahnya itu dengan adiknya.
"Appa~"
Jennie menghampiri, Song Jongki yang kini sudah bersiap untuk meninggalkan acara dirinya. Dan tentu saja untuk mencari keberadaan adiknya itu. "Bubarkan saja acaranya, Appa ingin mencari adikmu"
Saat hendak bersiap meninggalkan taman belakang ini, lengan kekar Song Jongki di cekal erat oleh Jennie. Membuat pria paruh itu dengan terpaksa menghentikan geraknya.
"Ada apa?" Tanya Song Jongki.
"Tak sebaiknya kita menunggunya saja?" Jennie sungguh tidak senang melihat wajah khawatir yang tercetak rapih di wajah Ayahnya. Terlebih khawatir dengan Rosé seorang gadis yang kini Jennie tak menganggap keberadaannya.
"Rosé! Adikmu! Dia tidak ada disini, bagaiman jika terjadi sesuatu padanya? Kau lihat? Ponselnya semuanya ia tinggalkan!"
Suara berat itu terdengar berbisik, tapi terlihat jelas jika kini pria itu tengah kesal dengan dirinya. Jennie sedikit terkejut tentunya, saat melihat ponsel milik Rosé yang ada di dalam genggaman Ayahnya. "Dia kabur? Tapi..." Jennie bergumam dalam hatinya.
"Sudahlah kau lanjutkan saja acaranya, Appa pergi dulu" Setelahnya kini tubuh kekar itu perlahan menghilang dari pandangan Jennie.
Apakah, gadis itu benar-benar pergi? Seperti apa yang Jennie minta tadinya?, tapi Jennie sungguh tak sengaja melontarkan kalimat itu. Ia masih sedikit belum menerima kejadian beberapa hari silam, dan tentu ia masih sedikit tidak percaya jika dirinya dan Rosé memang saudara kandung.
..........
Sudah hampir 5 jam Rosé duduk termenung di cafe tempat dulunya ia bekerja, saat ini hari sudah sangat larut. Keadaan di luar pun amat terasa dingin, perkiraan cuca jika malam ini akan turun salju.
Semakin lama pengunjung cafe ini mulai sepi, Kai pria selaku pemilik usaha kecil ini mulai membereskan semuanya dan bersiap untuk menutup toko nya. Karena udara dingin begitu menusuk kulitnya.
"Kau tidak pulang?" Kai bertanya dengan Rosé.
Gadis itu nampak menghela nafasnya samar, dan beberapa detik mengusap kasar wajah cantiknya. "Jam berapa sekarang?" Kai melirik ponselnya.
"23:54" Rosé membulatkan matanya terkejut, seingatnya dia baru datang dan duduk di cafe ini. Tapi tak terasa jika waktu berjalan begitu cepat.
"Ada masalah? Kau terlihat tidak baik-baik saja"
Secepat kilat Rosé menggelengkan kepalanya, ia pun mulai bangkit dari duduknya. "Oppa, apa aku masih boleh bekerja disini?"
Pertanyaan itu mampu membuat Kai bingung, bukankah gadis ini sudah cukup kaya. Mengingat saat ini dirinya merupakan anak dari seorang Song Jongki yang bisa di bilang Ayah gadis itu merupakan aset negara.
"Tapi bukankah keluarga mu sudah cukup kaya? Kau tau sendiri aku tidak bisa memberi mu gaji besar"
"Arra, seberapapun itu aku akan menerimanya. Aku hanya ingin menjadi lebih mandiri lagi, jika begitu aku akan datang besok pagi untuk mulai bekerja"
Setelah memberikan salam hormat, Rosé meninggalkan Kai yang masih setia menatap kepergiannya hingga tubuh rapuh itu menghilang sepenuhnya dari pandangan Kai. Keadaan jalan begitu sepi, bahkan setiap menitnya Rosé dapat memastikan jika hanya ada 2-5 mobil yang melintas.
Mungkin acara ulang tahun kakaknya belum usai, sebutir bola salju mulai turun. Kini kulit Rosé begitu menggigil saat bersentuhan langsung dengan benda itu. Dirinya hendak berhenti di sebuah halte bus, untuk menunggu kendaraan di sana dan juga setidaknya untuk sedikit menghangatkan tubuhnya yang kedinginan disana.
Tapi Rosé tersadar jika seluruh barang yang sangat penting itu ia sengaja tinggalkan. Dan kini Rosé pun hanya pasrah mengikuti langkah jenjang kakinya. Sebelum lampu mobil menyoroti dirinya dan berhenti tak jauh di depan.
"Astaga, Sayang! Kau ini dari mana Nak?" Rosé terdiam membisu.
Saat kini tubuhnya sudah di peluk hangat oleh seorang pria paruh yang amat ia kenali tentunya. "Dari mana saja kau? Kau tau seberapa khawatirnya Appa?"
Kini kedua tangan kekar itu sudah menempel lembut di kedua pipinya. "Maaf, aku hanya berniat untuk mencari udara segar. Tapi aku malah tak sadar jika sudah larut" Ujar Rosé tak enak.
"Sudahlah, yang terpenting kau sudah ketemuan. Ayo kita pulang udara dingin tidak sehat untuk tubuh mu" Tubuh Rosé terbawa masuk kedalam mobil mewah yang di kendarai oleh Ayahnya itu.
Jambi, 06 september 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Leave Me ✔
FanfictionMereka terlahir dari rahim yang sama, memiliki golongan darah yang sama, bahkan sifat yang sama. Namun karena kesalah pahaman dari kedua orang tua mereka, membuat mereka harus berpisah jauh. Hingga tidak dapat mengenal satu sama lain, hingga waktu i...