Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?

72.9K 3.1K 163
                                    

==
Bagian Satu: Nyata atau Ilusi?

==

Perempuan berambut lurus sebahu itu sibuk menatap layar persegi panjang didepannya.Sudah setengah jam ia menghabiskan waktu dengan duduk disana, di pojok kafe yang menghadap keluar jendela dengan jemari tangannya yang sibuk mengetik. Sementara tangan Atha sesekali meraih cangkir disebelah laptopnya―menyesap kopi panas yang dipesannya beberapa saat lalu.

"Maaf Tha, lama nunggu ya?"sebuah suara familiar terdengar dari samping mejanya. Membuat kedua alis Atha terangkat keatas sebelum menoleh untuk menatap si pemilik suara.

Seorang perempuan bertubuh langsing dengan rambut panjangnya yang digulung keatas, menyisakan beberapa anak rambutnya, menatap Atha sambil tersenyum manis. Jas kuning yang masih dikenakannya membuat Atha menebak kalau perempuan itu baru saja selesai kuliah.

"Nggak terlalu, lagipula gue ngerti kok Ray. Ini Jakarta, macet dimana-mana."jawab Atha, ikut mengangkat kedua sudut bibirnya keatas. Membentuk sebuah senyuman.

Raya. Sahabatnya sejak memakai seragam putih biru itu lalu menarik kursi dan duduk didepannya. Dia kemudian menyesap segelas teh manis hangat yang dititipkannya pada Atha. Raya menarik nafas usai meneguk tehnya, sementara sepasang mata coklatnya menelusuri wajah Atha yang duduk didepannya. "Skripsi ya Tha?"tanyanya beberapa saat kemudian.

Atha―tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop―mengangguk mengiyakan.

Diluar hujan cukup lebat turun membasahi bumi, hingga kafe ini ramai dikunjungi pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang berusaha menepi untuk berteduh. Dan Atha adalah salah satunya.

Tangannya terjulur untuk meraih secangkir kopinya dan hendak menyesapnya ketika Raya tiba-tiba bertanya. "Sejak kapan lo suka kopi Tha?seingat gue, lo selalu benci kopi. Kata lo pahit."tanya sahabatnya itu penasaran. Rupanya sedari tadi Raya tidak mengalihkan pandangannya. Perempuan itu bertopang dagu, menunggu jawaban keluar dari mulut Atha.

Atha menghela nafas dan menaruh kembali cangkirnya, menoleh keluar jendela disebelahnya. Matanya menatap kosong jalanan yang sepi diluar sana. "Sejak gue rasa hidup gue sama pahitnya kayak kopi."Atha menjawab dengan wajah datar.

Raya hanya diam. Walaupun sejak memasuki kuliah dia sudah jarang bertemu dengan Atha, dia tahu kalau ada sesuatu yang salah dengan sahabatnya yang satu itu. Dan tak perlu bertanya pun, Raya sudah tahu jawabannya. Hanya saja dia tidak berminat untuk mengungkitnya sekarang.

Usai beberapa menit diisi keheningan, Raya kembali angkat bicara."Tha, kita berangkat sekarang aja ya?"

Atha menutup layar laptopnya dan mengiyakan. Ia meneguk habis kopinya kemudian membereskan dan memasukkan laptopnya kedalam tas. Kedua perempuan itu akhirnya beranjak. Berjalan menuju pintu kafe usai membayar minuman mereka.

Udara dingin langsung berhembus menyentuh permukaan kulit begitu membuka pintu. Kafe bernuansa homy ini terletak persis dipinggir jalan, hingga satu deretan dengan beberapa toko lainnya.

"Ray, lo parkir mobilnya dimana?"Atha bertanya sesaat setelah mereka keluar.

Raya yang sedang sibuk menekan layar ponselnya menoleh dan tersenyum lebar―memperlihatkan deretan gigi putihnya yang dipakaikan behel. "Gue tadi nggak bawa mobil, Tha. Edgar yang nganterin gue. Jadi, nggak apa kan kalau kita nunggu supir gue sebentar disini?"

"Oh, oke."

Alhasil, keduanya pun menunggu di pinggir kafe. Raya kembali sibuk dengan ponselnya sementara Atha menunduk untuk menatap sepasang sepatu kets birunya, seolah-olah benda itu adalah hal yang paling menarik. Setelah beberapa menit bertahan di posisi yang sama, Atha akhirnya mengedarkan pandangannya. Kedua matanya langsung tertuju pada sebuah toko buku diseberang jalan yang letaknya tidak jauh. Toko buku yang ikut mengambil andil dalam hidup Atha.

Replaying UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang