Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi

16.4K 1.8K 522
                                    


A/n: Gue rasa ini bakal ftv a.k.a sinetron abis. Tapi gue harap kalian semua suka ya, amin. Sambil denger lagu photograph ed sheeran klo bisa hehe
(Maaf kalo ada kesalahan typo gitu, ini chapter panjang banget.)
―sav

==

Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi.

==

Angin malam di pulau Gili menerpa permukaan kulit perempuan berponi yang kini memasang wajah muram itu. Seiring kakinya melangkah menuruni tanjakan kecil di belokan, Atha, perempuan tersebut menghirupnya dalam-dalam. Matanya menelaah pemandangan yang ada. Langit malam ini, tidak banyak bintang yang terlihat―meski ada bulan purnama sebagai penyempurnanya.

Malaikat purnama berperawakan tinggi itu sejak tadi memutuskan untuk berjalan disampingnya pun ikut terdiam disaat Atha berhenti berjalan dan membalikkan badan, kemudian membuka mulutnya sedikit.

"Fa―"

"Kamu ragu kembali?" potong Faust. Mata elangnya menatap Atha lurus-lurus, seolah bisa membaca pikirannya. Ralat. Faust memang bisa membaca pikirannya, bila dia mau.

Walau sudah memantapkan diri ketika pamit pulang pada Ben, tanpa mengatakan hal apapun pada Nara―Atha masih tidak bisa meyakinkan keputusannya sendiri. Kakinya gatal untuk berlari kembali ke minimarket dan tidak ingin balik menuju masanya yang sebenarnya.

Bukan. Dia bukannya melarikan diri dari fakta yang ada. Hanya saja, Atha belum rela untuk kembali.

"Athalia," Faust memanggilnya. Mengalihkan perhatian Atha. Kata 'bimbang' seakan terpampang besar-besar didahinya hingga dalam sekejap mata Faust bisa tahu segala hal yang terjadi pada dirinya.

"Nggak ada pilihan lain selain balik ke masa depan." sambung Faust. Angin menerpa rambutnya, cahaya dari bulan membuat Atha dapat melihat ekspresi yang dipasang Faust saat ini. Walau tidak terlalu jelas.

Intinya, malaikat purnama itu nyatanya tidak berkata main-main.

Dengan berat hati Atha menunduk, menatap sepasang sepatunya sambil memikirkan masa depan. Atha mengepalkan tangannya erat sambil meyakinkan diri sekali lagi.

Dia tidak bisa menunda. Toh, cepat atau lambat hal yang sama akan terjadi.

"Oke―gue balik ke masa depan." ucap Atha lalu membalas tatapan Faust setelah jeda yang cukup panjang. Dan tentu, keputusannya ditanggapi anggukan dari Faust yang menganggapnya sebagai keputusan bijak. Karena kalau Atha tidak ada niatan untuk kembali, bahkan Faust sekali pun akan kesulitan yang kemudian hal itu akan menimbulkan masalah baru.

Sebelum benar-benar melanjutkan langkahnya, Atha menoleh ke belakang, menghela napas melihat bangunan bercat putih yang sudah agak jauh. Bibirnya mengulum senyum tipis, membayangkan senyuman Nara beberapa saat lalu.

Atha terlonjak kaget ketika sesuatu dingin menyentuh tangannya. Begitu menoleh kedepan, Atha mendapati tangan Faust menggamit pergelangan tangannya. Menariknya perlahan. Seolah dalam diamnya, dia menyuruh Atha agar tidak menoleh ke belakang.

"Tengah malam, kita pulang." kata Faust mengingatkan lagi. Atha menatap wajahnya dari samping, dan tersenyum.

Yah, sepertinya Faust mengerti apa yang Atha rasakan sekarang ―makanya dia berusaha mengalihkan perhatian Atha agar perempuan itu bisa merelakan.

Merelakan Nara.

"Oke." jawabnya, singkat.

》》

Replaying UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang