Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit

15.1K 1.5K 102
                                    

==

Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit.

==

Atha yang mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya keluar kamar―disaat yang bersamaan dengan Kariza. Keduanya spontan melakukan kontak mata, tapi masing-masing dari mereka justru memalingkan pandangan ke tempat lain.

Faust yang entah sejak kapan berdiri di tengah keduanya pun hanya bisa diam. Mungkin sedikit merenungi nasibnya yang diciptakan tanpa pasangan.

Sejak sepulangnya mereka dari kompetisi boxing kemarin, Atha dan Kariza sama sekali tidak berbicara. Mungkin Atha sedikit, tapi tidak dengan Kariza.

Pikiran pemuda itu semalam sibuk berkecamuk sendiri. Kariza tidak tahu apa yang salah dengan dirinya dan perasaannya, jadi alih-alih menanggapi Atha―Kariza langsung menutup lalu mengunci pintu kamarnya rapat. Sama sekali tidak keluar bahkan ketika Diana mencoba memanggilnya.

Meski begitu, kelihatannya pagi ini Kariza mengingat kalau keduanya harus menguntit Nara dan Nanda dari belakang. Dia terlihat sudah siap dengan segala perlengkapannya. Bahkan Kariza memegang teropong di tangan kirinya.

Tawa Atha hampir meledak melihat perpaduan aneh pakaiannya.

Mungkin, bakat terpendam seorang Kariza Tarazio adalah menjadi seorang―penguntit.

"Yo." sapa Kariza, canggung.

Atha mengangguk.

Kariza mengusap tengkuknya yang tidak gatal lalu akhirnya menatap Atha dari atas hingga bawah. Keningnya berkerut heran setelahnya.

"Kenapa lo?" tanya Atha, menyadari raut Kariza yang berubah begitu melihatnya.

"Lo sadar nggak."

"Apa?"

"Lo sadar nggak, yang mau nge-date itu Nara sama Nanda."

"Iya. Gue tahu elah."

"Gue nggak yakin lo tahu, soalnya ―" Kariza memberi jeda. "Yang gue lihat, kayak situ yang mau nge-date sama Nara." sambungnya.

Atha melotot sebal dan menundukkan kepala. Ya. Sejak tadi dia sudah menduga kalau gaun pendek selutut berbahan lace yang dimunculkan Faust tidak akan pantas dia kenakan. Belum lagi, kritikan Kariza yang selalu pedas di hati terkadang harus membuat Atha ekstra sabar menghadapinya.

"Yaudahlah ya, gue kan mencoba jadi normal." sindir Atha yang diam-diam mengena di hati Kariza.

Mencoba terlihat tidak peduli, Kariza hanya mendengus kemudian berjalan mendahului Atha. "Cepetan. Nanti telat." ucapnya lalu menuruni tangga duluan.

Atha buru-buru menyusulnya. Tepat pada anak tangga ke tiga, perempuan itu dikejutkan oleh bunyi nyaring yang ditimbulkan oleh Faust―lebih tepatnya, benda yang mirip seperti jam tangan, yang melingkar di pergelangan tangan makhluk tersebut.

"Kenapa, Faust?"

Faust menekan benda tersebut dengan cepat sebelum mengangkat kepalanya. "Panggilan dewan. Ini soal portal ke masa depan. Kamu duluan saja, nanti aku menyusul."

Portal?

Mendengarnya, Atha mengangguk. Dalam satu jentikkan jari Faust memunculkan portal keunguan yang sama, yang dulu dipakainya saat meminta izin pad Atha menemui para dewan. Makhluk itu melambaikan tangannya pelan sebelum berjalan memasukinya dan lenyap seperti debu begitu saja.

"Hati-hati." gumamnya sangat pelan.

"Woi, lihatin apaan sih?"

Atha mengerjapkan mata kemudian menatap ke depan. Menyadari keberadaan Kariza yang memperhatikannya dari lantai bawah. "Iya, iya bentar."

Replaying UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang