Bab 21 - Next Level

69 63 7
                                    

Pramuka, Praja Muda Karana. Ekstrakurikuler wajib bagi seluruh murid spp, dimana paling rendah berpangkat saka. Di atas saka adalah bantara dan di atasnya lagi laksana.

Tiap pangkat memiliki tes berbeda, dimana ujianya akan semakin berat berdasarkan tingkatannya. Pengukuhan saka dilaksanakan pada akhir semester satu oleh siswa kelas sepuluh. Setelahnya bantara pada semester dua. Tetapi tak jarang ada yang tidak mengikuti pengukuhan bantara karena suatu alasan dan baru melaksanakan ketika sudah kelas sebelas.

Segala keperluan pengukuhan diurus oleh anggota osis dan pihak sekolah. Mulai dari transportasi, pangan dan tempat berkemah. Biasanya berkemah dilakukan di pantai atau tempat wisata lainnya yang dilaksanakan selama tiga hari dua malam.

Seperti halnya sekarang, para murid kelas sepuluh tengah memasang tenda masing-masing. Area pria dan wanita dibatasi dengan tenda khusus untuk untuk melakukan sholat berjamaah. Sementara tenda panitia berada jauh di ujung. Pengukuhan diawali dengan upacara pembukaan, game, pentas seni, jurit malam dan diakhiri dengan upacara penutupan.

Udara pantai yang panas tak menjadi penghalang para murid untuk bermain game. Padahal baju hitam mereka sudah basah karena peluh, bahkan kotor karena pasir sisa mereka merayap di tepi pantai.

Sama halnya dengan para panitia, contohnya Dwita yang sedari tadi tak henti menyeka keringat yang membasahi wajahnya sembari memberi pertanyaan teka-teki kepada peserta.

"Panas baget ya," ujar Cika sembari menyeka peluh diwajahnya.

"Iya, rasanya baru kaya di oven. Si Rere masih ujian laksana ya?" tanya Dwita, dari banyaknya murid perempuan kelas sebelas di SPP hanya Rere seorang yang kukuh menjadi laksana.

"Kalau gak salah tadi aku liat dia lagi di tes sama kak Isrul," balas Cika tanpa mengalihkan pandangannya dari adik kelas yang tengah berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan panitia lainnya.

"Tau gitu aku gak usah ikut jadi panitia, si Sari pasti lagi rebahan sambil nonton drama korea," keluh Dwita sembari menghentakkan kakinya ke pasir pantai.

"Dwita, cepat sini!" teriak Tono tiba-tiba dari arah dapur perkemahan.

"Apa?" tanya Dwita kesal dengan wajah cemberut dan tangan bersedekap di depan dada.

"Bantuin buat es teh untuk yang lain. Kita bikin lima termos cukup kali ya?" tanya Tono.

"Kok aku?" Dwita balik bertanya.

"Ya iyalah, lupa kah sayang kalau kamu itu bagian seksi konsumsi." Tono  melemparkan tiga kotak teh celup kerahan Dwita yang sialnya malah mengenai Sagara yang tengah mengabadikan momen menggunakan kamera.

"Woi." Sagara mengedarkan pandangannya mencari biang kerok yang membuat jepretannya rusak.

"Tono yang lempar!" Teriak Dwita dengan suara cemprengnya padahal posisi mereka hanya berjarak lima langkah.

Sagara pun menghampiri Tono dan Dwita. Disodorkanknya kotak teh dan diterima olah Tono.

"Kalian mau ngapain?" tanya Sagara dengan mata yang memerhatikan hasil jepretannya.

"Mau konser kami disini,"jawab Dwita asal.

"Ngawur, mau buat es teh kami. Panas gini seger kayaknya," terang Tono dengan tangan yang cekatan membuka bungkus teh.

"Aku dokumentasikan ya, untuk laporan." jemari Sagara dengan lihai menjepret tiap hal yang dilakukan Tono dan Dwita dengan sudut pandang yang bagus.

"Foto bertiga yuk, untuk kenang-kenangan mumpung pakai kamera mahal," usul Tono.

Sagara pun mengambil posisi berdiri disebelah kiri Dwita, sementara Tono di sebelah kanan Dwita. Dengan isyarat mata Tono dan Sagara berbicara, mereka berhitung tanpa suara. Pada hitungan ketiga mereka bersama menarik pipi Dwita dengan kencang.

Cekrek...

"Arggghh," erang Dwita kesakitan karena pipinya yang terasa panas.

Sagara dan Tono terbahak karena wajah berhasil menjahili Dwita, Hingga suara seseorang interupsi.

"Esnya ditunggui dari tadi kok belum jadi?" tanya Jessica dengan wajah memerah karena sengatan matahari.

"Sabar atuh neng," balas Tono.

"Itu Kakak pembina sudah ngomel dari tadi gara-gara kalian buat esnya lambat betul," terang Jessica yang membuat Dwita langsung bekerja mengaduk teh yang sudah diberi air hangat lebih cepat.

Akhirnya es teh lima termos pun jadi, mereka berdoa dalam hati semoga teh yang dibuat cukup untuk anggota yang berjumlah 180 orang termasuk panitia dan guru pembina.

Seusai para calon bantara bermain game mereka beristirahat di tenda masing-masing. Dwita yang merasa bosan mulai berjalan menyusuri pinggir pantai. Mata Dwita memincing ketika mendapati objek yang dia kenal. Di sana di jembatan kecil dekat bibir pantai terdapat dua insan manusia yang sangat dia kenal, Sagara dan Vio. Keduanya tengah duduk bersebelahan dengan tangan yang saling bertautan. Untung saja posisi keduanya tengah memunggungi Dwita, alhasil dia bisa leluasa memperhatikan.

"Ada yang retak tapi bukan kaca,"ucap seseorang yang berhasil membuat Dwita menjengkit kaget.

"Astagfirullah Charles, bikin kaget aja," ucap Dwita dramatis dengan tangan mengelus dada, sedangkan Charles hanya tersenyum pongah.

"Seharusnya kamu tuh gak usah liatin pemandangan yang bikin sakit hati. Hobi banget ngikutin mereka berdua," ujar Charles dengan jari menunjuk dua insan yang sedang memadu kasih.

"yey, ngapain aku ikutin mereka. Tadi tuh aku gak sengaja jalan kesini. Lagian aku sudah bertekad untuk ikhlasin Sagara untuk Vio kok," terang Dwita dengan tatapan sendu.

"Yakin?" tanya Charles dengan nada mengejek.

"Betulan, kamu tau gak level tertinggi dari mencintai adalah Mengikhlaskan?" tanpa sadar tangan Dwita terkepal dan semua itu tak luput dari perhatian Charles.

"Kamu juga tau gak kalau level tertinggi kebohongan adalah kata-kata barusan," ujar Charles yang kemudian pergi meninggalkan Dwita seorang diri.

.
.
.
.

Bersambung...

Jangan lupa vote cerita "Bukan Cinta Bedengan" yang mau krisan juga boleh di kolom komentar.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang