Bab 5 - Perasaan Dwita

134 126 62
                                    

Sagara merasa pekerjaannya di halaman belakang sudah selesai memutuskan untuk bergabung dengan yang lainn ke halaman depan. Pemandangan halaman nampak tak berbeda jauh dari sebelumnya. Masih banyak rumput liar yang tegak berdiri. Dapat dipastikan bahwa sedari tadi hanya Sagara yang menjalankan hukuman dengan serius.

"Astaga kalian ini dari tadi belum selesai cabut rumputnya. Coba yang serius," tegur Sagara kepada yang lainnya.

"Buat apa serius kalau ujung-ujungnya gak ke pelaminan, eakk ...," goda Tono.

"Buat apa serius kalau ujung-ujungnya ada yang menikung, eakk ...," tambah Juki.

"Buat apa serius kalau ujung-ujungnya  putus, eakk ...," timpal Rega.

Dwita, Cika, Rere, dan Sari terkekeh karena Tono dan yang lainnya berucap dengan wajah dan bahasa yang alay. Sementara Sagara memandang mereka dengan sengit. Karena tau bahwa mereka sedang menggoda dirinya yang baru putus cinta.

"Ehh gaess, liat tuh si Sintia sama Edo pulang bareng sambil gandengan tangan. Pasti mereka udah pacaran," ujar Sari kepada yang lainnya.

Terlihat Sintia dan Edo yang berjalan tak jauh dari mereka.

"Ciee ... ciee ... priwit priwit ... yang sahabat jadi cinta." Teriak Juki menggoda Sintia dan Edo.

"PBJnya  jangan lupa. Gorengan di kantin Jojo ya," timpal Tono.

"Awas besok putus," celetuk Rega yang dihadiahi pelotot oleh Edo.

"Ciee ... ciee Sintia," ujar Dwita dan teman sekamarnya serentak.

Sintia yang terlihat malu-malu meong hanya menundukkan kepalanya dengan senyum yang terus mengembang. Edo yang juga merasa malu akhirnya menarik Sintia pergi menjauh.

"So sweet ya mereka sahabat jadi cinta kaya cerita yang ada di novel." Sari menautkan jemari dengan mata berbinar membayangkan cerita romantis di novel yang pernah dia baca.

"Cih ... kebanyakan baca novel kamu, Sar. Mana bagus kalau sahabat jadi cinta, saat mereka putus pasti hubungan persahabatannya hancur. Anti banget aku sama hal yang begitu. Mengorbankan jalinan persahabatan yang sudah dibangun bertahun-tahun demi cinta yang sesaat," ujar Sagara sambil terus mencabut rumput.

Dwita yang mendengar Sagara berucap seperti itu tanpa sadar meremas tangan Cika.

"Aaarrghh ... sakit, Ta," erang Cika.

"Sorry perut aku sakit. Aarrghh sakit banget." Bohong Dwita sambil memegang perutnya.

Tono menghampiri Dwita dan meletakkan punggung tangannya di dahi Dwita.
"Gak panas kok," ujarnya dengan ekspresi wajah berpikir keras.

"Ya iyalah Ton, yang sakit itu perutnya buka jidatnya." Rega menggeplak tengkuk Tono karena jengah dengan kelakuannya.

"Kekerasan dalam pertemanan ini namanya," ucap Tono sembari mengusap tengkuknya.

"Udah gak usah ribut! Ta, kita ijin ke Pak Korem aja ya," ajak Cika khawatir.

"Eum gak usah. Aku tahan kok," ujar Dwita meyakinkan dengan senyuman kebohongan dan kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Sepulang masa hukuman Dwita termenung duduk di pinggir ranjang dalam kamarnya. Sesekali dia menghela napas, katakanlah kalau Dwita cengeng. Tanpa dia sadari sedari tadi bulir bening sudah meluncur dari kelopak matanya. Beruntung teman sekamarnya sudah paham bila sedang sedih Dwita tidak ingin diganggu dan ketika sudah merasa lebih baik pasti Dwita yang akan memulai percakapan.

"Aku menyedihkan ya?" tanya Dwita kepada teman sekamarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Banget Ta," celetuk Sari dari atas ranjang tingkat yang langsung mendapatkan cubitan di perutnya dari Cika.

"Gak papa nangis aja, Ta. Kamu juga berhak untuk meluapkan emosimu," tutur Rere sembari mengelus punggung Dwita.

"Aku kalah sebelum berperang." Dwita mengusap kasar air matanya.

"Aku gak tau mau kasih saran apa. Soalnya aku juga gak paham soal cinta," ujar Sari dengan polos.

"Sepuluh tahun yang sia-sia." Dwita merebahkan tubuhnya di kasur. Di pandanginya foto-foto dia bersama para sahabatnya yang tertempel di bawah ranjang tingkat milik Cika.
Di asrama, mereka menggunakan ranjang tingkat dan Dwita menempati kasur bagian bawah.

"Dosakah mencintai sahabat sendiri?" guman Dwita.

"No, big no. Dwita sayang ku my freind jangan sedih terus dong." Cika merebahkan diri di sebelah Dwita.

"Ih sempit, Cika. Gerah tau." Dwita mendorong Cika dari kasurnya. Namun, nihil Cika malah memeluk lengan Dwita.

"Ih gak seru gak ngajak-ngajak." Rere juga mengabil posisi berbaring di sebelah Cika dan tambah mendesak Dwita ke dinding.

"Aku ikut," celetuk Sari yang langsung meloncat dari kasur tingkat dan mendarat di lantai layaknya spiderman.

Pada akhirnya terjadilah desak mendesak antara mereka. Kasur yang awalnya hanya muat satu orang kini berubah menjadi empat orang. Meskipun sesak tapi mereka tetap mempertahankan posisi masing-masing agar tidak terjatuh.
"Minggir!" Dwita mengerahkan seluruh tenaganya dan Sari terjatuh kerena posisinya paling ujung dengan posisi yang sangat tidak aesthetic .

"Hahahaha ... sukurin." Dwita tertawa terbahak, seketika dia sedikit melupakan kesedihan yang sempat menghampirinya.

Kini mereka tertawa terbahak bersama hingga ....

"Kamar lima jangan berisik sudah mau magrib!" Teriak salah satu tetangga kemar mereka.

Tapi mau apa dikata, anggota kamar lima tetap melanjutkan tawa.

Sumpah, ya, tuh kalau gak ingat kata ayang beb untuk tahan emosi, udah ku labrak itu anak kamar lima. kalau perlu aku lempar tong sampah pintu kamar mereka, batin ketua asrama dengan hati mendongkol serta hidung kembang kempis.

Bersambung...
.
.
.

Informasi

PBJ : pajak baru jadian

Bagaimana bab ini? Bagus gak?

Jangan lupa vote dan komen cerita "Bukan Cinta Bedengan" agar author semakin semangat untuk up bab baru.



Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang