Bab 31 - Tersesat Di Lahan Elaeis guineensis Jack

45 33 20
                                    

Bangun pagi... cuci muka, apel pagi~

Sekiranya begitulah senandung pagi yang selalu Dwita nyanyikan setiap dia bangun kesiangan saat PKU. Karena rutinitas yang lebih padat dari sekolah, banyak Siswa dan Siswi melewati waktu mandi demi tidak telat apel pagi. Untung saja apel pagi tidak menghabiskan banyak waktu, sehingga mereka sempat membersihkan diri sebelum berangkat ke tempat yang sudah di tentukan. Setiap kelompok memiliki jadwal kunjungan yang berbeda. Seperti halnya kelompok Sagara yang mendapat giliran untuk melihat tata cara memanen buah sawit secara langsung.

Dwita terpesona karena baru pertama kali melihat kebun sawit yang sangat luas. Sedangkan anggota kelompoknya hanya memandang bosan area kebun yang menurut mereka biasa saja karena sudah sering melihatnya.

"Keren banget," ucap Dwita antusias.

"Anak kota kalau baru lihat kebun sawit ya begini." Charles dengan jail menepuk kepala Dwita dengan buku catatan yang dia bawa.

"Jess, pacar kamu tuh gangguan jiwa kayaknya," ujar Dwita kesal.

"Heh, mulutnya. Aku masih waras, tampan, gagah dan rupawan malah kamu bilang gangguan jiwa. Sini kamu!." Tangan Charles sudah bersiap menarik Dwita yang sedang bersembunyi dibalik punggung Jessica.

"Coba diam!" Jessica menatap Charles penuh amarah.

"Sayang, natapnya jangan begitu dong," ujar Charles yang mereka ngeri oleh tatapan Jessica.

"Sayang sayang pala lo peang. Jangan ribut nah! gak liat apa kita dari tadi dipelototin sama pak mandor." Jessica menunjuk dengan dagu, seorang pria yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Ayo kita datangi mandornya!" seru Sagara memberi perintah.

Mereka pun berjalan ke arah pak Mandor yang sedang mengamati pekerja.

"Nah ini, baru datang. Kalian sudah tau kan bagaimana buah sawit yang siap dipanen. Sekarang kalian saya beri tugas mencari pohon yang buahnya siap panen. Kalian berenam akan dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing harus mencatat nomer pohon yang siap panen di lembaran kertas. Satu kelompok di area A dan kelompok lainnya di area B. Harus teliti ya, karena data akan disesuaikan dengan milik perusahaan," terang Pak Mandor memberikan pengarahan.

"Oh iya, nanti kalau sudah jam satu siang kalian kembali ke pos yang tadi pagi kita singgahi untuk tunggu mobil jemputan dari perusahaan. Ada yang mau di tanyakan?" sambung Pak Mandor.

Sagara mengangkat tangan, ingin bertanya yang dibalas anggukan oleh Pak Mandor.

"Pembagian kelompoknya kami yang menentukan atau Bapak yang tentukan?" tanya Sagara.

"Saya saja, coba kumpulkan tanda pengenal kalian!" perintah Pak Mandor.

Mereka pun segera memberikan tanda pengenal yang sedari tadi menggantung di leher masing-masing.  Setelah beberapa saat menimang-nimang Pak Mandor unjuk bicara.

"Sagara, Jessica dan Charles pergi ke area A. Sementara Rudi, Ian dan Dwita ke Area B." Pak Mandor kemudian mengembalikan tanda pengenal kepemiliknya masing-masing.

Sebelum pergi menuju tempat yang sudah ditentukan, Dwita menyempatkan memberi beberapa permen ke anggota lainnya.

"Biar gak ngantuk," ujar Dwiata sembari membagikan permen rasa kopi ke teman-temannya.

Sagara mulai mengamati pohon sawit yang tingginya rata-rata sepuluh meter. Buah sawit yang siap panen ditandai dengan jatuhnya brondolan atau buah sawit sekitar lima brondol yang terjatuh di piringan sawit (Area sekitaran sawit yang dibersihkan membentuk lingkaran sehingga terlihat seperti piring.

Tak terasa waktu berlalu hingga jam satu siang, Sagara dan teman kelompoknya pun pergi menuju pos guna menunggu jemputan perusahaan. Sagara merasa aneh, lantaran kelompok Dwita tak kunjung kembali. Mobil perusahaan pun datang, akan tetapi kelompok Dwita terlihat.

"Kok cuma tiga orang, sisanya mana?" tanya Pak Mandor bingung.

"Gak tau pak, dari tadi kami tunggu tapi mereka gak muncul-muncul," ujar Charles tanpa minat.

"Coba kalian hubungi, takutnya nanti mereka tersesat," ujar Pak Mador yang membuat tubuh Sagara sedikit menegang.

Sagara mulai cemas ketika dia tidak bisa menghubungi gawai Dwita. Charles dan Jessica juga tak kalah cemas sebab tak ada yang bisa mereka hubungi. Tak lama dari jauh terlihat dua siluet yang tak lain adalah Ian dan Rudi.

"Dwita mana?" tanya Sagara cemas, pasalya dia tak melihat keberadaan sahabatnya tersebut.

"Loh, Dwita tadi pergi duluan dari pada kami, aku kira sudah sampai dia kesini, " ucap Ian dengan wajah bingung.

"Dwita belum ada sampai. Ck, HPnya pakai gak bisa dihubungi lagi," Sagara berdecak kesal dan khawatir sekaligus.

"Sepertinya teman kalian tersesat. Sekarang kita berkeliling, mencari teman kalian. Hapalkan betul-betul jalan yang kalian lewati, terkadang pola taman sawit bisa membuat kita bingung," titah Pak Mandor.

Selagi yang lain mencari berpasangan, Sagara memilih untuk pergi sendiri. Sagara menyesal, seharusnya dia tidak perlu mengajukan pertanyaan yang membuat dia pisah kelompok dengan Dwita. Mereka terus mencari, tak jarang mereka juga bertanya dengan beberapa pekerja yang kebetulan lewat.

Di lain tempat, Dwita tengah menangis tanpa suara. Jangankan membuka mulut, untuk membuka mata saja Dwita sangat takut. Meskipun tak bersuara, Dwita sedari tadi terus merapal doa. Berharap sesuatu yang sedari tadi berada di depannya segera pergi.

.
.
.
.

Bersambung...

Jangan lupa vote dan share cerita "Bukan Cinta Bedengan". Yang mau krisan juga boleh di kolom komentar.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang