Bab 24 - PPB (Polos Polos B*ngs*t)

79 64 16
                                    

Pagi yang cerah, akan tetapi tidak dengan wajah Sagara yang mendung sedari tadi. Wajahnya terus ditekuk, apalagi ketika melihat Dwita tatapannya semakin tajam bagai pedang yang siap menghunus lawan.

"Ssttt Ra," bisik Tono kepada Sagara yang namanya disebut oleh guru yang ada di depan kelas.

"Sagara Mahendra!" kali ini bukan hanya suara, tetapi juga gebrakan meja yang cukup keras hingga membuat satu kelas terkaget.

Sekaan tersadar Sagara segara berdiri dari kursinya.

"Iya Pak?" tanya Sagara yang masih bingung.

"Sekarang pergi keluar dan berdiri menghadap kelas dengan posisi tangan hormat!" perintah Pak James telak.

Sagara segera menuruti perintah tersebut, meskipun dia masih bingung kenapa dia diberi hukuman oleh guru yang terkenal sadis itu.

"Sekali lagi ada murid yang seperti itu di kelas saya, minggu depan kalian belajar di kolam penderitaan," ucap Pak James sembari menunjuk Sagara.

Mendengar kolam penderitaan disebut, seketika tubuh mereka menegang. Bayangan kolam lumpur setinggi dada, belum lagi warnanya yang hijau beserta bau busuk menyengat membuat mereka bergidik ngeri. Jangankan belajar di kolam penderitaan, sedangkan belajar di kelas saja banyak dari mereka yang tidak paham tentang pelajaran ALSINTAN(Alat Dan Mesin Pertanian). Terlebih para murid perempuan, bagi mereka pelajar tentang mesin adalah biang dari rasa bosan.

Biarpun sedari tadi Sagara menjalankan hukuman akan tetapi padangan dan pikiran tetap ke satu nama, Dwita. Hingga hukumannya selesai.

Seusai pak James meninggalkan kelas Sagara segera menarik tangan Dwita dengan kasar dan membawanya ke belakang laboratorium Klimatologi yang sepi. Bahkan saking eratnya Sagara menarik, tangan Dwita sampai merah dibuatnya.

"Apaan sih, Sagara." Dengan sekuat tenaga Dwita menarik tangannya dari genggaman Sagara.

Sagara menatap Dwita penuh emosi,  sementara Dwita yang tadinya melotot menjadi menciut dengan diskriminasi yang Sagara berikan.

"Maksud kamu apa ancam Vio sampai mau lukain dia segala pakai air formalin," ucap Sagara kesal.

Mata Dwita seketika melebar mendengar penuturan Sagara. Vio, si gila yang parahnya sudah memanipulasi Sagara.

"Kok aku? aku gak tau apa-apa," tegas Dwita membela diri.

"Gak usah bohong, masih baik Vio gak mau aku bocorkan tentang hal ini. Dia masih memikirkan nasib kamu, seharusnya kamu minta maaf bahkan kalau perlu kamu berlutut sama dia." entah setan apa yang merasuki Sagara, dengan tega dia mencengkam dagu Dwita dengan jarinya yang kokoh.

"Buat apa aku harus memohon maaf bahkan sampai berlutut untuk manusia b*ngs*t kaya di...."

Plakkk

Belum sempat Dwita menyelesaikan ucapannya, tangan Sagara lebih dulu mendarat di pipinya, membuat cap lima jari. Mata Dwita memerah menahan air mata dan perih di pipinya.

"Jaga ucapan kamu, dia itu pacar aku. Kamu gak pantas bilang begitu tentang dia," tegas Sagara dengan emosi yang menggebu.

"Kamu gila, cuma demi dia si cewek PBB bahkan kamu nampar aku. Seharusnya kamu tinggalin cewek munafik spesies ular kaya dia," ucap Dwita dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.

"Kamu yang seharusnya yang sadar! kamu keterlaluan, andai aja formalin itu sampai kena matanya Vio dia otomatis buta. Kamu mikir pakai otak dong kalau mau bertindak," berang Sagara.

Dwita terkekeh mendengar perkataan Sagara. Sungguh pintar seorang Vio memutar balikan fakta, masih segar diingatanya aksi gila Vio yang dengan segaja mencipratkan cairan formalin ke matanya sendiri. Dan sekarang Sagara dengan seenaknya menyalahkan perbuatan gila kekasihnya. Sungguh lucu realita kehidupan yang kelam ini. Entah Sagara yang terlalu bodoh atau Vio terlewat cerdik.

"Itu bukan salah aku," tutur Dwita penuh penekanan, bahkan matanya memandang Sagara dengan sorot tak kalah tajam.

"Apa susahnya mengakui kesalahan?" kali ini Sagara dan Dwita saling pandang penuh permusuhan.

"Apa yang mau diakui, sementara itu bukan salah aku." Dengan wajah penuh air mata Dwita meninggalkan Sagara yang masih diliputi amarah.

Dengan langkah tergesa Dwita segera berlari menuju kelas, saat ini yang ini dia lakukan hanya menangis. Karena tak memperhatikan langkah Dwita menabrak seseorang di depannya dan jatuh terduduk. Matanya yang buram karena air mata tak dapat melihat dengan jelas seseorang yang ada dihadapanya. Hingga suara yang tak asing membuatnya tanpa ragu langsung menerjang orang tersebut.

"Dwita," ucapan orang tersebut dengan sendu, melihat Dwita menangis dengan hebat didalam dekapannya.

"Bukan aku yang salah, PPB itu tukang fitnah. Aku sumpahin dia gak lulus terus dikeluarkan dari SPP," ucap Dwita tidak jelas karena dia menenggelamkan wajah dipelukan Sahabatnya.

"Ton, pipi aku sakit ditampar Sagara tapi lebih sakit hati aku karena dia lebih percaya PPB dari pada aku." Dwita mengangkat wajah dan menunjuk pipinya yang sudah dihiasi cap lima jadi.

"Sagara b*ngs*t," berang Tono dengan wajah memerah dan rahang mengeras.

.
.
.

Bersambung...

Jangan lupa vote cerita "Bukan Cinta Bedengan" yang mau krisan juga boleh di kolom komentar.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang