Bab 13 - Bagas

94 87 22
                                    

Siang ini kegiatan sekolah di liburkan karena kepulangan siswa kelas dua belas. Tepat setelah tiga bulan mereka melaksanakan PKU di luar kota. Kewajiban siswa kelas sepuluh dan sebelas mempersiapkan pesta penyambutan saat apel malam. Meskipun tidak mewah tapi tetap saja butuh persiapan. Tak luput acara makan-makan juga dilakukan.

Apalagi Sagara yang juga mempersiapkan mental untuk mencurahkan isi hatinya kepada Vio. Bahkan Sagara juga membuat dialog untuk latihan. Gila, ya Sagara telah gila di mata Tono dan teman kamar yang lainnya.

"Kamu latihan nembak cewek aja udah kaya mau pentas seni," celetuk Juki yang sudah muak dengan Sagara yang terus mondar-mandir sembari memegang kertas dialog.

"Lebay, kaya mau casting sinetron aja," tambah Rega.

"Bawa santai aja kenapa, Ra. Rileks Bro!" timpal Tono.

Sagara menghempaskan tubuhnya di kasur. Kenapa mereka bisa ada di kamar sedangkan yang lainnya tengah mempersiapkan pesta penyambutan? ya, mereka kabur dengan alasan sudah bekerja lebih dulu dari pada yang lainnya. Sedangkan Pak Korem juga terlalu sibuk untuk patroli.

"Kira-kira Vio mau terima aku gak ya?" tanya Sagara.

Tono menghembuskan napasnya kasar dan memandang Sagara dengan dongkol. Sagara seperti orang yang terkena pelet, atau jangan-jangan memegang benar Sagara terpapar pelet.

"Males aku di kamar," ucap Tono kesal.

Tono segera bangkit dari posisi yang sebelumnya duduk di pinggir ranjang menuju lemari dan mengganti pakaian.

"Mau kemana?" tanya Juki yang masih setia rebahan di kasur.

"Mau ke asrama putri," jawab Tono tanpa menoleh.

"Ngapain?" tanya Rega.

"Mamanya Dwita tadi chat. Katanya dari tadi malam dia gak bisa di hubungi. Kayanya Dwita belum cerita ke Mamanya soal luka yang dia dapat," terang Tono.

Tono berharap Sagara mau ikut dengannya untuk menjenguk Dwita. Namun nihil, Sagara lebih memilih setia dengan kertas yang dia pegang.

Setibanya Tono di depan gerbang asrama putri dia segera meminta petugas piket untuk memanggilkan Dwita. Selang beberapa waktu Dwita keluar dengan wajah yang pucat berjalan bersama Cika.

"Ada apa, Tono?" tanya Dwita dengan suara yang sangat lemah.

"Astaga, Ta. Muka kamu kok pucat begini?" Bukannya menjawab Tono malah balik bertanya.

Dwita hanya tersenyum lemah sembari menggelengkan kepalanya.

"Dwita gak mau makan dari tadi malam," ujar Cika pada Tono.

"Mama kamu tadi chat  aku karena anak ceweknya yang tersayang gak bisa dihubungi. Kamu mau makan apa nanti aku carikan. Mau buah, bakso, donat, atau ... es pondok coklat?" ucap Tono dengan penuh kekhawatiran .

"HP aku habis baterainya, belum sempat isi daya. Aku males makan, Ton," tolak Dwita.

Tono mendengus sebal karena ucapan Dwita. Sejatinya Tono sudah menganggap Dwita sebagai adiknya oleh karena itu dia sangat khawatir apabila Dwita sakit seperti sekarang.

"Ya sudah sana istirahat dan jangan lupa hubungi Mama kamu! Cika, kamu paksa Dwita makan ya! Kalau perlu kamu buka maksa mulutnya habis itu kamu jejali makanan," ucap Tono menatap kesal Dwita.

"Sadis amat, Ton. Si Amat aja gak sadis." Cika bergidik ngeri karena ucapan Tono.

"Bercanda Mba, aku balik ke asrama dulu. Kamu cepat masuk sana nanti aku kesini lagi bawa makanan sama obat plus vitamin." Tono mengelus sayang pucuk kepala Dwita.

Dwita tersenyum lemah namun tiba-tiba dia merasakan pening yang amat menjadi. Padangan matanya berkunang dan ...

Brukk

Dwita jatuh pingsan tepat dipelukan Tono. Tidak lama datanglah seorang siswa yang memandang Dwita khawatir dan langsung merebutnya dari dekapan Tono.

Siswa tersebut segera menggendong Dwita bridal style dan membawanya ke kamar lima.

Cika berlari mendahului siswa tersebut dan berteriak di sepanjang Koridor.

"Ada cowok."

Otomatis semua siswi yang tengah berada di luar langsung masuk ke kamar masing-masing. Kerena bila sedang di lingkungan asrama para siswi jarang memakai pakaian yang menutup aurat.

Sementara Tono mengikuti dari belakang dan memandang jengkel punggung siswa yang tengah menggendong Dwita.

"Dwita sakit apa?" tanya siswi yang sedari tadi berada di samping Tono.

"Dwita gak mau makan Kak, Kemarin juga tangannya habis di jahit gara-gara terkena pisau okulasi," jelas Tono tanpa melihat siswi tersebut.

"Ton, gak usah segitunya kali kamu ngeliatin Bagas." Siswi tersebut menepuk bahu Tono karena merasa jengah.

Tono menghentikan langkahnya dan menatap siswi tersebut dengan tajam.

"Kak Lina, tau sendiri kalau, Kak Bagas itu suka banget sama Dwita. Sedangkan Dwita gak suka sama sikap Kak Bagas yang terlalu over protective  padahal mereka gak punya hubungan apa-apa," terang Tono dengan suara yang naik satu oktaf.

Lina membalas tatapan Tono dengan pandangan lembut seakan menenangkan.

"Itu dulu, sekarang Bagas cuma khawatir sama Dwita sebagai adik kelasnya gak ada rasa yang lain. Percaya sama Kakak kalau Bagas sudah berubah," terang Lina membela Bagas. Karena baginya Bagas yang sekarang bukanlah Bagas yang dulu.

"Kita lihat aja nanti." Tono pun pergi meninggalkan.

Lina memijat pangkal hidungnya dan terkekeh.
Susah sekali meyakinkan seorang Tono, batin Lina berbicara.

.
.
.
.
Bersambung ...

Jangan lupa vote cerita "Bukan Cinta Bedengan" yang mau krisan juga boleh di kolom komentar.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang