Bab 14 - Tono Kesal

91 83 25
                                    

Dwita kini tengah terbaring di atas kasurnya. Cika dengan telaten memberikan minyak kayu putih di telapak tangan dan kaki Dwita yang terasa dingin.

"Apa sebaiknya kita antar Dwita ke puskesmas. Kasihan dia pucat banget," ujar Bagas khawatir dengan pandangan sendu.

"Cih, sebaiknya Kakak kembali ke asrama putra. Takutnya dicari pak Korem kerena Kakak menghilang dari rombongan kelas dua belas," celetuk Tono atau lebih tepatnya mengusir Bagas.

"Tono oh Tono~ kamu masih jengkel ya sama aku?" Bagas menghampiri Tono yang sedang berdiri bersandar di depan pintu kamar Dwita.

Tono masih menatap Bagas dengan jengkel. Sementara Lina hanya menggelengkan kepalanya karena sikap Tono. Bagas hendak menepuk bahu Tono namun tangannya lebih dulu ditepis oleh sang empunya bahu.
Bagas hanya terkekeh tidak marah sekalipun. Meskipun tindakan Tono termasuk kurang ajak kepada seorang Kakak kelas.

Tono masih menatap Bagas penuh ketidak sukaan, masih enggan untuk berdamai. Lina sudah tidak tahan dengan atmosfer yang ada di ruangan tersebut akhirnya angkat bicara.

"Tono, Bagas, bisa gak kailan itu damai untuk kali ini aja!" pinta Lina dengan tatapan memohon.

"Gak bisa." tolak Tono yang membuang pandangannya ke luar kamar.

"See, dia bahkan langsung nolak sebelum aku jelaskan," ujar Bagas yang mulai emosi karena perilaku Tono sudah melebihi batas wajar.

Lina yang melihat kilatan marah di mata Bagas langsung mengambil posisi menengahi mereka. Dia tidak mau kejadian beberapa bulan yang lalu terulang kembali.

"Ok stop, lebih baik kalian diam!" tegas Lina yang kemudian membawa Bagas menjauh dari Tono.

"Ton, bisa minta tolong buatkan Dwita  teh hangat, siapa tau pas sadar nanti dia haus. Gelas, sendok, teh, dan gulanya ada di atas meja. Dispensernya ada di depan kamar enam," terang Cika sembari menunjuk letak semua barang yang dia sebut.

Tono mengikuti instruksi Cika. Dia sengaja menyenggol tubuh Bagas yang berada didekat lemari tempat menyimpan barang yang disebut Cika.

Lina segara menahan bahu Bagas yang sudah emosi tingkat dewa agar tidak menyerang Tono.

"Sabar, Gas!" ucap Lina menenangkan.

"Apa gak sebaiknya Kak Lina dan Kak Bagas ke tempat Pak Korem?" Cika akhirnya buka suaranya.

"Iya, Gas ayo kita laporan dulu!" Lina menarik tangan Bagas keluar kamar lima.

Sebelum kakinya sampai di ambang pintu, Bagas membalikan badannya.

"Tolong jaga Dwita ya!" pintanya tulus pada Cika.

"Itu sudah kewajiban saya Kak," balas Cika dengan senyuman yang merekah.

Selang beberapa waktu Tono kembali ke kamar lima dengan secangkir teh hangat yang dia bawa. Karena terlalu fokus berjalan dia sampai tidak melihat kalau ada Sari dan Rere lalu ....

Brukkk

Tono menabrak Sari hingga teh yang dia pegang sedikit tumbah mengenai lengan Rere.

"Awww." Ringis Rere sembari mengipasi lengannya yang terkena air hangat.

"Eh Sorry aku gak sengaja," ujar Tono.

"Loh, Ton. Ngapain kamu di sini?" tanya Sari heran.

"Dwita tadi pingsan, ini aku buat teh untuk dia." Tono menunjukkan secangkir teh yang sedari tadi dia pegang.

"Apa!" teriak Sari dan Rere berbarengan.

Sari dan Rere pun berlari masuk ke kamar yang jaraknya dua meter dari tempat mereka berdiri.

Sari dan Rere berlari tergesa hingga mereka jatuh bersama di ambang pintu.

"Aduh!" Pekik mereka bersamaan.

Cika yang tengah terduduk di samping Dwita terkaget refleks melemparkan botol minyak kayu putih ke kening Dwita.

"Astaga." Cika buru-buru mengusap kening Dwita yang memerah.

"Eughhh ...." lenguh Dwita yang kemudian terbangun.

Dwita mengerjabkan matanya dan menyunggingkan senyum lemah tak kala dia melihat Sari dan Rere yang tergeletak di depam pintu.

"Minggir!" seru Tono dari arah belakang.

Sari dan Rere segera bangkit dan segera menghampiri Dwita.

"Kok bisa pingsan? masih sakit? udah enakan?" tanya Sari beruntun.

Sementara Rere tidak henti-henti memeriksa tubuh Dwita dengan meletakkan punggung tangannya di dahi Dwita.

"Stop! kalian itu malah buat Dwita tambah sakit," ujar Cika kesal.

"Minum dulu, Ta!" Tono menyodorkan teh hangat kepada Dwita.

Dengan telaten Cika membantu Dwita meminum teh.

"Aku kenapa?" tanya Dwita polos setelah meneguk teh tersebut.

"Kamu tadi pingsan, terus kamu di gendong sama, Kak Bagas," jawab Tono.

"Oh ... apa!" Dwita membelalakkan matanya hampir copot.

"Santai sis," celetuk Sari.

"Kelas dua belas sudah pulang?" tanya Dwita lagi dengan ekspresi yang lebih tenang.

"Tadi Kak Bagas sama Kak Lina kok," terang Cika sembari mengelus pelan bahu Dwita.

"Kelas dua belas sudah kumpul semua di lapangan Korem. Makanya kami pulang soalnya malu ada Kakak anu ...." Rere tidak melanjutkan ucapannya keburu menutup wajahnya yang sudah merona.

"Aduh mulai penyakit jatuh cintanya Rere, ya sudah aku kembali ke asrama dulu ya. Ta, jangan malas makan dan minum obat ya!" Tono mengelus sebentar pucuk kepala Dwita dan pergi berlalu.

Setelah Tono pergi, kamar menjadi Dwita kembali murung . Sari, Rere, dan Cika memilih diam memperhatikan Dwita.

"Salah kah kalau berharap Sagara khawatir sama aku?" Dwita menghela napasnya kasar dan memasang senyum sumbang.

Sari, Rere, dan Cika merasa iba dengan Dwita kemudian memeluknya. Menyalurkan rasa kasih sayang dan saling menguatkan diantara sesama gadis.

.
.
.
.
Bersambung...

Jangan lupa vote cerita "Bukan Cinta Bedengan" yang mau krisan juga boleh di kolom komentar.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang