bab 4 - Playboy but Sadboy

154 134 81
                                    

Matahari masih terlalu malu untuk bersinar saat apel subuh dilakukan. Banyak siswa dan siswi masih mengantuk ditambah sisa hujan semalam membuat udara semakin dingin.

Sagara, Tono, Rega, dan Juki berada di barisan yang berbeda. Mereka berbaris menghadap dengan murid yang lainnya.

Pak Korem menatap semua orang dengan tatapan yang mengintimidasi.
"Semua, ambil sikap push-up!" Teriaknya dengan lantang.

Dalam hitungan detik semua murid langsung menuruti perintahnya. tak sedikit siswi yang menggerutu karena lapangan semen masih sedikit basah dan lembab.

"Push-up 100 kali!" perintahnya lagi.

"Astaga, coba langsung sarapan aja," bisik Dwita kepada Rere teman sekamarnya.
"Iya, aku laper banget soalnya kemarin malam aku gak ke katering," ucap Rere.
"Salah sendiri di ajak makan gak mau," timpal Sari.
"Nonton drama Korea terus sih," sambung Cika.
Rere hanya terkekeh mendengar ucapan teman sekamarnya.

Mereka sengaja memilih tempat yang berada di ujung dan tertutupi pohon mangga yang besar. Bahkan akan sulit menemukan mereka kalau dilihat dari posisi Pak Korem.

Acara mengobrol berlanjut hingga suara berat seseorang mengagetkan mereka.

"Saya bilang push-up bukan bergosip," murka Pak Korem.

Tubuh mereka bergetar karena aura Pak Korem sungguh menakutkan.

"Kalian pindah posisi ke depan bersama para kebo di sana!" perintah Pak Korem sembari menunjuk Sagara dan teman sekamarnya, dengan malas Dwita beserta yang lain berlari ke arah Sagara.

"Saya tegaskan sekali lagi kepada kalian semua. Disiplin itu indah. Sudah berulang kali saya ingatkan kalian kalau saya tidak suka kalau ada yang melanggar aturan yang saya berikan. Kalian lihat mereka." Pak Korem menujuk Sagara dan yang lainnya.

"Yang cowok tidurnya kaya kebo. Kalian tau sirine asrama kita itu suaranya sampai ke perumahan di seberang sana. Tapi mereka seakan tuli tidak mendengarnya. Dan yang cewek kerjaanya bergosip ria. Bukannya push-up mereka malah bercerita hingga mulutnya mau berbusa. Bahkan mereka tidak menyadari keberadaan saya bila tidak di tegur," murka Pak Korem dengan wajah merah karena emosi. Jangan lupakan tatapan matanya yang sangat tajam seperti belati.

"Setelah pulang sekolah nanti kalian pergi ke ruangan saya. Tidak ada alasan untuk menghindar. Kalian ber delapan paham!" berang pak Korem.

"Siap paham," ujar mereka bersamaan dengan posisi siap.

Setelahnya para siswa dan siswi bermasalah tersebut meninggalkan ruangan dan bersiap untuk menjalani hari yang tentunya tidak mudah.

Tak terasa sudah pukul empat sore setelah sekolah usai, Sagara dan teman-temannya yang terkena hukuman kini tengah berbaris di dalam ruangan maskulin Pak Korem. Suasana dalam sana amat mencekik dan membuat mereka tak berkutik. Cat berwarna hijau tua dengan beberapa perabotan berwarna senada ala tentara menjadi pemanis. Namun, tetap membuat siapa saja yang memasuki ruangan tersebut meringis hingga ingin menangis. Sudah sepuluh menit mereka berbaris tetapi Pak Korem belum memberi instruksi dan masih setia dengan posisi duduk di sofa. Hening, bahkan hanya suara hembusan nafas terdengar.

"Lakukan pembersihan di area asmara cowok kelas dua belas. Pastikan tidak ada rumput liar sedikit pun di halamannya paham!" perintah Pak Korem yang kini tengah berdiri menjulang di hadapan mereka.

"Siap paham," ucap mereka berbarengan.

"Satu lagi, rumput di halamannya hanya boleh kalian cabut tanpa menggunakan alat. Cukup dengan tangan kosong, paham!" tambah Pak Korem.

"Siap paham," jawab mereka kembali.
Setelahnya mereka langsung menuju tempat eksekusi.

Lelah, satu kata mewakili mereka yang tengah melakukan pembersihan. Bagaimana tidak, terhitung hari ini ada tiga mata pelajaran yang mengharuskan mereka ke lahan.
"Huft ... capek," gerutu Rere.
"Haus ... lelah ... lemah," sambung Dwita.
"Panas ... gerah," lanjut Cika.
"Mau nikah aja," celetuk Sari.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang