bab 7 - Teori Cinta Bedengan

125 115 37
                                    

Sagara dan anggota kelompok tiga yang lainnya kini tengah memasang mulsa pada bedengan di lahan swakarya. Sebenarnya waktu memasang mulsa belum ditentukan oleh sekolah, akan tetapi Sagara sudah meminta izin kepada Kak Supri selaku guru mata pelajaran Swakarya. Swakarya sendiri merupakan mata pelajaran yang hanya melakukan praktik tanpa adanya kegiatan di kelas. Akan tetapi nilai swakarya sangat dijunjung tinggi dan menjadi patokan. Apabila lahan kamu gagal, dalam artian bedengan kamu jelek, tidak terurus, tanaman mati atau tidak tumbuh. Sudah pasti kamu nilai kamu tidak bagus. Bedengan di SPP bukan cuma satu saja tapi ada beberapa sesuai mata pelajaran produktif. Maka terciptalah yang namanya cinta bedengan. Korban rata-rata siswa dan pelakunya adalah siswi. Karena apa? siswi memanfaatkan fisik siswa yang lebih kuat untuk membantunya mencangkul bedengan. Mengatas namakan cinta padahal semu semata, sungguh miris bukan.

Sagara tengah memasangkan mulsa milik Dwita. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya karena cuaca lumayan panas walaupun sudah sore hari.
Kak Supri setiap hari patroli dengan motor sport nya di lahan swakarya. Mengecek apakah ada sesuatu yang salah ataupun untuk membasmi hama bongkeng atau yang lebih kita kenal dengan pencuri hasil panen. Pelakunya tidak jauh-jauh, melainkan siswa SPP itu sendiri.
Kak Supri memberhentikan motor sportnya. Dilepasnya helm full face dari kepala dengan gaya yang terbilang cukup keren. Mungkin orang baru melihat Kak Supri tidak akan menyangka bahwa dia adalah seorang guru yang terkenal galak dan sadis.

"Heh Dwita, kamu ngapain jadi mandor? makan laju kerja kendor. Bantuin itu Sagara!" Perintah Kak Supri tanpa turun dari motor pada Dwita yang tengah duduk memperhatikan Sagara.

"Iya Kak," sahut Dwita dengan malas dan bibir manyun.

"Kamu itu selalu saja malas, hal sepele untuk memasang mulsa saja kamu masih membutuhkan Sagara. Cari pacar sana biar kamu merepotkan Sagara. Cari sendiri cinta bedengan kamu. Kasihan dia kamu suruh-suruh," ucap Kak Supri panjang kali lebar.

"Iya Kak iya. Ini saya mau bantu dia." Dwita dengan mata melotot berucap ke Kak Supri.

"Eh kamu itu siapa yang lajarin melihat guru seperti itu?" Bentak Kak Supri.

"Kak Supri coba gak usah marah-marah terus. Kapan Kakak nikahnya kalau emosian begitu," balas Dwita sambil melipat kedua tangannya ke depan dada.

"Kurang ajar kamu ya, umur saya masih dua puluh lima tahun. Belum terlalu tua," kesal Kak Supri yang kemudian memasang helm dan melajukan motornya.

Dwita kemudian tertawa terbahak-bahak karena bisa membuat Kak Supri yang galak tersebut mundur.

"Gila Dwita hati-hati nilai swakarya kamu jadi merah." Tono tiba-tiba muncul dan berdiri di samping Dwita.
Spontan Dwita memberhentikan tawanya dan memasang wajah panik.

"Tidak!" Teriak Dwita dramatis persis serial india.

"Ssttt ... berisik Dwita," tegur Sagara.

"Nilai aku Ra," rengek Dwita.

"Makanya kalau punya mulut itu di filter dulu sebelum ngomong. Siapa tau Kak Supri tersinggung sama omongan kamu," nasihat Sagara kepada Dwita.

"Tapi kan ... aku gak sengaja ngomong begitu," lirih Dwita sendu.

"Ya sudah ayo lanjutin pasang mulsanya. Atau kamu mau cari cinta bedengan dulu baru lanjutin pasang mulsanya," goda Sagara yang langsung mendapatkan pelototan dari Dwita.

Mau tak mau Dwita segera membantu Sagara dengan wajah ditekuk, mata melotot dan pastinya hati amburadul mengingat nilai.

Udara yang panas terganti oleh angin kencang yang tiba-tiba berembus. Kerena kenakalan angin tersebut mulsa yang terbentang di bedengan Sagara terhempas. Sebab mulsa Sagara belum diberi kawat sebagai pasaknya. Sagara segera berlari menuju bedengannya yang berjarak lima bedeng dari bedengan Dwita.
Dwita segera menyelesaikan memasang kawat pada mulsanya dan pergi menyusul Sagara.

"Angin oh angin kenapa engkau datang ~ kerja dua kali. Dwita cepet ke sini!" perintah Sagara.

"Iya bentar, panas beberapa hari kok jalan ke bedengan kamu becek sih? mana aku gak pake sepatu bot," gerutu Dwita.

"Udah gak usah ngomel, mau hujan kayanya. Cepat!" Sagara menunjuk langit yang sudah menunjukkan mendungnya.

Sagara memberikan ujung mulsa kepada Dwita dan mulai membentangnya lagi ke bedengan sepanjang tiga meter dengan lebar satu tersebut.
Memang panjangnya cuma tiga meter tapi pegal saat mencangkul jangan di tanya. Terlebih Sagara mendapatkan bagian yang tanahnya keras seperti batu.

"Dwita, langsung kamu pasang aja kawatnya!" ujar Sagara sedikit berteriak.

Dwita hanya menganggukan kepala tanpa mengeluarkan suara.
Rega, Juki, dan Tono yang telah selesai memasang mulsa di bedengan masing-masing turut membantu Dwita dan Sagara untuk memasang kawat.

"Huftt ... akhirnya. Eh kok panas lagi sih? gak jadi hujan. Kita dipermainkan alam," ujar Dwita sambil memperhatikan sekitar.

"Aduh haus," celetuk Rega.
Seakan tau Dwita langsung pergi mengambil kantung kresek yang berisi beberapa minuman untuk masing-masing dari mereka dan membaginya.
Setelah selesai menenggak minuman mereka memutuskan untuk pulang ke asrama karena waktu semakin sore.
Saat berjalan Sagara melihat Vio yang tengah kesulitan memasang mulsa sendirian di lahan kelas sepuluh.

"Eh kalian duluan aja! aku ada urusan sebentar," ujar Sagara kepada teman-temannya.

"Modus, bilang aja kalau mau pendekatan sama adek kelas. Baru juga putus sama Meta udah cari pengganti aja," cerca Rega.

"Iri? bilang bos," ujar Sagara segera berlalu meninggalkan teman-temannya.

"Dasar anak tik-tok, dengar begituan langsung joget," kesal Tono karena melihat Juki yang sedang bergoyang ala-ala tik-tok setelah mendengar Sagara berkata 'iri? bilang bos'.

Dwita yang tau bahwa Sagara tengah berusaha mendapatkan hati Vio pun merasa sedih.
Tono yang menangkap kesedihan dari wajah Dwita merasa aneh pun membatin, Kenapa si Dwita, mukanya sedih banget? jangan-jangan ....

Bersambung ...

.
.
.

Informasi

Swakarya : hasil kerja sendiri.

Mulsa: Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tumbuh dengan baik. Mulsa dapat bersifat permanen seperti serpihan kayu, atau sementara seperti mulsa plastik, biasanya mulsa plastik berwarna silver.

Jangan lupa vote dan komen cerita "Bukan Cinta Bedengan" supaya author makin semangat untuk up baru.

Bukan Cinta Bedengan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang