Flashback (Tama)

1.7K 16 4
                                    

Mungkin kalian semua sudah kenal sama kami. Tapi sebagai formalitas aku akan memperkenalkan diri kami lagi sekalian flashback.

Aku Adhyathama Djayalangit Arsyanendra Purnayasa. Usia 21 tahun dari Bali. Entah berkat atau musibah, aku dilahirkan di keluarga yang cukup berlebihan cuan dan bertampang 70% penjajahan, disisi lain aku beruntung karena dapat hidup dengan fasilitas yang cukup disisi lain aku hidup kurang kasih sayang Papi dan Mami, hanya Kakek dan nenek saja yang memberikan kasih sayang itu padaku.

Mungkin kalian yang baru pertama kali kenal aku heran, kenapa aku bernama Adhyathama Djayalangit Arsyanendra, bukan Miguel, Marchelino, Matteo, atau apalah yang berbau Portugis, nah ini karena Papi merupakan seorang Bali walupun ada sedikit Chinese didalamnya. Keluarga besar Purnayasa yang merupakan keluarga besar Papi memegang teguh budaya Bali. Tapi karena Papi menikah dengan Mami yang merupakan seorang keturunan Portugal modern, aku tak kebagian nama suku Bali, jadi sebagai gantinya aku diberikan nama bahasa Sansekerta Adhyathama Djayalangit Arsyanendra yang artinya Yang Utama Berjaya di Angkasa (karena Papi seorang TNI AU) yang membawa kejayaan dan kecerdasan. Nama yang cukup berat. Nama ini sangat susah diucapkan oleh guru-guru ku sewaktu sekolah di Bandung, dan jelas nyusahin ketika ujian nasional yang harus ngehitamim buletan untuk nama. Ya setidaknya namaku gak pasaran hehe....

Dari segi fisik, ya aku berbeda dengan orang lain disekitar aku, entah kalau aku hidup di Eropa mungkin saja itu wajar. aku terlahir berkulit putih, bermata terang, dan berambut cokelat nyerempet ke pirang ala-ala rambut jagung banyak yang menyukai penampilanku, khususnya kaum hawa. Sewaktu SD saja, aku di krumuni emak-emak bar-bar yang selalu mencubit pipi aku sampai sakit, bahkan aku pernah diminta mengelus perut salah satu emak-emak bar-bar itu yang tengah hamil tua, entah buat apa yang pasti itu sangat menggangu privasiku. Mau di sekolah, di Mall, bahkan di kompleks pun sama saja apalagi ketika Nenek jadi official arisan, sudahlah, aku hanya bisa pasrah menahan sakit di pipi. Hem... Masa kecil yang gado-gado, anak blasteran Bali, Portuguese, dan Dayak Kaharingan Campur aduk, antara bahagia karena hidup enak, dan sedih tak punya temen, hanya Anjing Golden retriever bernama Jaddu saja yang menemani masa kecilku.

Ketika aku bersama nenek, boleh dibilang aku sangat-sangat dimanja, karena memang aku adalah cucu  tunggal nenek. Apapun yang aku mau pasti dapat diwujudkan. Di manjanya aku ini mungkin jadi faktor penyebab aku mengalami ngompol every night, sejak SD kelas 1 sampai hampir kelas lima. Aku memang sering kali ngompol, ketika aku masih tinggal di Jogja bersama Papi dan Mami, aku masih pakai popok sampai usia enam tahun gak sering sih, tapi aku selalu di hukum pake popok seminggu ketika aku ngompol dan itu akan berlaku kelipatan sekali ngompol seminggu dua kali berati dua Minggu dan seterusnya, ketika TK, aku sering jadi bulan-bulanan temanku karena masih pake Popok. Di usia tujuh tahun, aku kembali ngompol dan malah semakin intensif. Nenek tau tentang masalah ini, dia pun membelikan aku popok yang sama ketika aku TK, yaitu popok Sweety perekat yang ada gambar Tom and jerry-nya.

Ketika aku mulai tinggal bersama nenek kakek kelas 1 SD Namun ketika SD ukurannya XXL, itupun masih agak kekecilan karena tubuhku agak bongsor dikit. Hingga akhirnya nenek membelikan popok Pampers yang sengaja di impor dari Australia untuk mencari ukuranku, entah dari mana, padahal Tokopedia belum lahir di tahun 2007, sepertinya nenek nitip dari rekannya yang bekerja di sana. Sejak tinggal bersama nenek itulah yang membuat aku semakin sering ngompol.

Beruntung, semakin bertambah umur aku mulai jarang ngompol, hingga finalnya di kelas 6 SD aku sudah lepas popok sepenuhnya. Ya terkadang aku jadi susah tidur karena tidak pakai popok, mungkin karena terbiasa dan menjadikan popok seperti boneka penghantar tidurku.

 Ya terkadang aku jadi susah tidur karena tidak pakai popok, mungkin karena terbiasa dan menjadikan popok seperti boneka penghantar tidurku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

( Ganteng mana... Kiri atau kanan 😁)

Ketergantungan akan Popok sepenuhnya hilang ketika aku kembali bersama Papi dan Mami di Bandung, aku hidup seperti remaja normal pada umumnya, ya walaupun hanya bergaul dengan Anjing dan beberapa orang yang berkerja di rumah. Khususnya ART sekaligus baby sitter ku yang aku panggil Budhe yang masih setia bersama keluarga kami.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan sahabat yang paling baik yaitu Timo. Pemuda songong asal Surabaya yang sangat menyenangkan, walau some time dia sangat menyebalkan karena  sikap capernya pada lawan jenis. Hingga diwaktu SMA, sebuah tragedi kecelakaan mobil membuat kami harus dirawat di RS, cedera parah yang dialami Timo membuatnya harus mengenakan popok setiap hari, karena rasa solidaritas, aku putuskan untuk membuat gerakan Nappy solidarity, aku ikut pakai popok untuk menemani Timo sampai dirinya sembuh total. Tapi walaupun sudah sembuh dari cerdera, kami malah kecanduan memakai popok dan enggan melepasnya, bagi kami popok sudah menjadi bagian dari hidup dan menjadi pakaian wajib sepanjang hari, karena popok telah menjadi saksi betapa eratnya persahabatan kami, suka maupun duka. Senang maupun susah, sehat maupun sakit. Yang tadinya aksi Nappy solidarity, menjadi Nappy Brotherhood yang tak akan berubah selama-lamanya.

.
.
.
.
.
Bersambung

Diapers in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang