Tragedi

231 5 0
                                    

Satu bulan kemudian, aku mendapatkan surat dari team KTM Indonesia untuk ikut seleksi balapan moto cross Asia Pasific. Surat ini datang langsung dari Coach ku yang selama ini mengurusi segala urusan dalam karier balapku sejak usiaku 12 tahun.

Selama satu minggu menjalani seleksi, akhirnya aku di kontrak untuk menjadi pembalap wild card di kejuaraan balap moto cross Asia Pasific selama satu musim. Mendengar kabar baik itu kami sekeluarga turut senang, karena sejak 2019 aku belum mengikuti kejuaraan balap yang menjadi hobby sekaligus penghasilanku. Race pertamaku di jalankan di Jepang. Tepatnya di kota Nagoya. Senang rasanya aku bisa balapan di negara orang selain di Malaysia dan Thailand. Sebenarnya, ada rasa insecure melihat beberapa pembalap lain yang lebih pro. Tapi inilah jalanku untuk mengembangkan hobby ke lebih profesional lagi. Kalau di sandingkan dengan ajang MotoGP, boleh dibilang kelasku setara Moto3. Tapi sayangnya moto cross sedikit asing kalah dengan popularitas moto GP atau World Super Bike.

Sesi balapan selesai, ya aku masih belum bisa bersaing dengan baik, aku finish di urutan 10 dari 23 pembalap. Lumayan lah. Aku pun mendapat Apresiasi dari manajemen yang tidak menyangka kalau aku bisa finish melebihi prediksi orang-orang.

Beberapa hari di Jepang aku pun kembali ke Indonesia, karena race selanjutnya akan di adakan di Australia. Namun ketika sedang di Quarantine di Jakarta, hasil PCR menunjukkan kalau aku Positif Covid 19. Hasil itu membuat aku kaget sekaligus khawatir kalau aku akan menularkan virus ke keluarga. Aku pun langsung menelpon Anjani untuk memberitahu kabar buruk ini.

" Hallo sayang, kapan nih bisa pulang.... "

" Aku belum tau Yang.... Aku kemungkinan gak bakal cepet-cepet pulang.... "

" Kenapa, emang bukannya jadwal race sebulan lagi ya.... "

" Aku Positif Yang.... "

" Hah... Positif, terus keadaan kamu kamu gimana.... "

" Aku di pindahin ke wisma atlet, agak sesek juga sih.... "

" Haduh.... Kok bisa sih sayang.... "

" Gak tau, yang penting sekarang Kamu, Audrey, sama Diego tes PCR... Aku takut kalian kena juga.... "

Malam harinya, Anjani telpon. Ternyata hasil tes PCR mereka negatif. Semua keluargaku sehat tanpa ada indikasi Covid. Aku pun bersyukur karena ke khawatiran-ku tidak terjadi. Tapi sayang sekali, karena aku Positif, aku pun terpaksa harus out dari kejuaraan dan Kontrak KTM pun di tangguhkan. Selain aku ternyata dua pembalap lain dari Jepang, dan Amerika serikat juga ikut kena Covid. Entah siapa yang lebih dulu nularin tapi mereka juga merasakan apa yang aku rasakan, sama-sama di diskualifikasi.

Huah memang Covid ini menyebalkan. Disisi lain kita khususnya yang kuliah dan sekolah bisa lebih fleksibel gak harus pergi ke kampus atau sekolah, tapi disisi lain mental kita agak jatuh gara-gara planning yang seharusnya bisa di jalankan malah tertunda bahkan batal. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini harus di jalani. Entah Covid ini bisa jadi Endemik alias abadi selamanya atau bisa sepenuhnya hilang. Ya sudahlah.

Selain aku kena Covid  kabar buruk juga masih terjadi. Bisnis yang aku jalani ternyata dalam masa terburuknya. Kebijakan PPKM Jawa Bali mengakibatkan tiga usahaku di ambang ke bankrutan Cafe yang awalnya bisa buka 24 jam, sekarang hanya beroperasi 13 jam itu pun cuma 30% pengunjung yang datang dari biasanya. Bahkan, ada satu hari cafe kami hanya melayani 10 orang dari awal buka sampai tutup. Total penghasilan kami pun menurun sampai 80%. Jangankan untuk modal, untuk bayar gaji karyawan pun kurang. Belum lagi Homestay yang punya 10 kamar sama sekali tidak beroperasi. Untuk sewa mobil hanya mobil pickup saja yang di sewa untuk logistik tabung oksigen untuk rumah sakit. Itu pun kami diskon karena memang untuk keadaan darurat. Diego yang menjadi pengganti aku pun ikut pusing memikirkan keberlangsungan bisnis kami. Hampir setiap hari dia komunikasi denganku untuk ngurusin bisnis warisan dua orangtua dan mertuaku ini.

" Gimana Diego.... "

" Huah, aku gak tau Tam... Keadaannya semakin pelik... Beberapa karyawan terpaksa aku liburkan gaji mereka pun beberapa ada yang kurang.... "

" Aku udah konsultasi sama ayahnya Anjani, dia bilang kita bisa jual beberapa unit mobil untuk keberlangsungan bisnis kita... Jual aja Avanza sama Calya yang pasti semua orang minat.... "

" Iya... Siap Boss.... "

Ya walaupun berhasil terjual, tapi sayangnya itu belum bisa nolong, satu-satunya yang jalan tanpa ada penurunan omset cuma bisnis kuliner Filipina milik Diego, dia jual produk dia via online, jadi masih ada penghasilan. Tapi baiknya dia, sebagai penghasil miliknya dia sisihkan untuk bantu menggaji beberapa karyawan.

Papi yang tau masalah bisnis ku pun juga sudah bantu stimulus modal dan ikut bantu menggaji karyawan. Tapi aku gak mau terus menerus di biayai orang tua, karena bagaimanapun itu tanggung jawab aku yang segala masalahnya harus selesai di aku.

Alhasil dengan berberat hati, aku mem PHK beberapa karyawan dan memberikan mereka modal. Diego yang gak tega ngasih mereka yang di-PHK untuk pegang cabang Ayam Filipina miliknya. Ya setidaknya dengan itu eks karyawanku tidak nganggur dan masih bisa menghasilkan uang. Untuk home stay, aku terpaksa mengiklankan untuk di jadikan kost premium, karena memang lokasinya agak dekat dengan kampusku. Biaya sewa kamar perbulan dimulai dari 1.5 juta sudah termasuk voucher diskon 70% makan di cafeku. Upaya itu berhasil dan 6 kamar pun terisi berkat koneksi dan strategi iklan dari Diego yang sukses menggaet mahasiswa baru Udayana untuk ngekost di homestay milikku.

Yah, itulah suka dukanya seorang pengusaha newbie bermodal kecil sepertiku.

.
.
.
.
.
Bersambung

Diapers in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang