Seseorang datang menjemput Taeyong, menghampirinya yang nyaris hilang kesadaran.
Tidak ada yang bisa lelaki itu pikirkan. Kepalanya kosong. Bahkan ketika kerumunan orang datang menghampiri, menanyai keadaannya yang hampir selayak mati. Apa yang bisa ditangkap oleh rungu Taeyong saat itu hanyalah dengung bagai sekumpulan lebah, dengan cahaya-cahaya yang tampil menyilaukan mata.
Taeyong tak memberi penolakan saat tubuhnya dibopong pergi ke tempat yang tak ia ketahui, meninggalkan orang-orang yang semula mengerumini.
"Pak, apa Anda mendengarku? Namaku Lee Jeno ... Apa Anda bisa mendengarku?" tanya sosok yang membawa Taeyong setelah berhasil mendudukkannya di tempat paling nyaman dalam gedung itu.
Pandangan Taeyong masih kosong, dengan bibir yang bergerak kalut serta air mata yang rembes. Fase kejatuhan parah yang ia alami berhasil menggetarkan seluruh kewarasannya.
"Jisung ... Putraku ...."
Hanya itu yang mampu dikeluarkan oleh bibir pucatnya, membuat Jeno menghela napas panjang. Menjadi sosok penenang dalam masalah seperti ini sama sekali bukan keahliannya.
"Putra Anda akan baik-baik saja, Pak. Pihak kepolisian sudah bergerak untuk mencarinya. Tapi, Anda juga harus membantu kami, bisakah Andaㅡ"
"Hentikan omonganmu, sialan!" Taeyong berteriak sambil bangkit dari duduknya, mendorong Jeno sekuat yang ia bisa. "Buktinya kalian tidak bisa melakukan apa pun! Satu demi satu nyawa harus melayang hanya karena kedunguan kalian!"
Jeno gelagapan, bingung menghadapi kekalutan orang tua di tengah rasa frustrasi seperti ini.
"Harap tenang, Pak. Semua akan baik-baik saja." Ia mengangkat kedua tangan sebatas dada, memberi gestur pada Taeyong bahwa ia menyerah dan lelaki itu bisa bersikap tenang. Namun, rasa kalut meliarkan naluri Taeyong.
"Apa yang sebenarnya bisa kalian lakukan, hah?! Hanya duduk di sini dan tak melakukan apa pun, begitu? Anakku sekarang menjadi tawanan orang gila! Dan dalam beberapa jam ... dalam beberapa jam ... dia ...."
Taeyong kembali terisak, menumpahkan segala resah. Ia tak sanggup membayangkan hal buruk yang bisa saja menimpa putranya. Bagaimanapun, Jisung tengah berada dalam bahaya besar, dan kecil kemungkinan bahwa orang gila yang tengah menyekapnya tak akan berlaku macam-macam.
"Aku hanya ingin anakku tetap hidup," isak Taeyong dengan kedua tangan menutup mata. Tubuh merosot jatuh ke atas kursi sepenuhnya.
* * *
Beberapa jam setelah turun lapangan dan mendapat beberapa informasi, sosok Jaehyun kembali muncul di areal kantor.
Langkahnya tersusun gagah, dengan senyum bahagia yang sekuat mungkin berusaha ia tahan. Cukup biadab memang merindukan kasus penculikan ini. Namun, penantian selama satu minggu berhasil membuatnya kelaparan. Mengungkap identitas si pembunuh sudah menjadi prioritas Jaehyun, dan ketika tak mendapat satu hal pun untuk diteliti beberapa hari belakangan cukup membuatnya frustrasi.
Sosok Jeno datang menghampiri ketika Jaehyun baru akan mencapai ruang kerjanya. Tampang pemuda itu tampak lelah. Anak-anak rambutnya basah akibat bulir resah. Tampak Jeno benar-benar kewalahan menangani orang tua korban kali ini.
"Bagaimana? Berhasil menanganinya?" tanyanya dengan kedua tungkai yang masih bergerak cepat. Jeno mengimbangi langkah di sampingnya.
"Cukup sulit, tapi masih bisa ditangani. Orang tua korban sudah diantar pulang. Keadaannya benar-benar kacau."
"Cukup tertebak."
Jaehyun berbelok di tikungan lorong dan meraih gagang sebuah pintu, pun mendorongnya untuk membuka akses masuk. Ia mengumpulkan beberapa berkas di atas meja, mengambil apa yang sekira dibutuhkan, serta memeriksa kembali data-data yang berhasil ia kumpulkan beberapa hari terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...