"Aku pulang!" Dengan seragam lengkap, Donghyuck memasuki rumah sore itu. Pada meja makan yang berdekatan dengan tangga ke lantai atas, tempat kamarnya berada, seorang wanita paruh baya tengah menata berbagai macam makanan. Mendapat sapaan balasan dari wanita cantik itu, Donghyuck pun berjalan mendekat dan mendaratkan kecupan di pipinya.
"Mana Ayah?"
"Akan datang sebentar lagi. Cepat ganti baju dan kita makan bersama."
Donghyuck menaiki tangga dan mencapai kamarnya di ujung lorong, menuruti perintah sang ibu untuk mengganti baju sebelum bergabung dalam jamuan makan malam. Sekilas, tidak ada yang aneh di keluarga tersebut. Donghyuck adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang menempati rumah besar di salah satu kompleks perumahan. Ia mendapat kasih sayang yang cukup, tidak ada yang patut dikhawatirkan sama sekali. Namun, lamunan Donghyuck di depan cermin setelah mengganti baju pecah oleh suara tembakan yang merasuk telinganya. Dengan kedua mata membola, ia keluar kamar dengan tergopoh, berusaha memeriksa apa yang baru saja terjadi. Pikirannya kini berpusat pada sang ibu. Rasa khawatir membuat Donghyuck merasa sesak, nyaris pingsan.
Langkah tergesanya seketika berhenti di pertengahan tangga. Di bawah, tubuh sang ibu terbujur kaku di dekat meja makan, dengan darah yang mengucur dari luka tembak di dahinya. Donghyuck ingin menjerit, tetapi kepalang tak mampu. Seolah pita suaranya terpuntir kuat dan lidahnya berubah menjadi batu. Ia berakhir jatuh terduduk di tangga dengan tubuh bergetar hebat.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu dalam debam keras. Donghyuck menoleh, mendapati sosok sang ayah yang bertelanjang dada, dengan hanya sebuah celana pendek yang membalut bagian tubuh bawahnya. Tubuh pria itu tampak aneh; berkeringat di segala tempat, membuat kulit-kulitnya tampak mengilat. Namun, bukan itu yang membuat Donghyuck geleng-geleng kepala dan berusaha bangkit dengan cepat, melainkan pistol yang mengisi ruang genggam ayahnya.
Bersama tubuh yang bergetar hebat, Donghyuck berdiri secepat yang dibisa, mengabaikan tungkai yang melemah bagai agar-agar. Hal yang harus dilakukan saat ini adalah melarikan diri. Jangan sampai sang ayah menyadari keberadaannya, atau benda laknat dalam genggaman pria itu akan mengarah padanya, sebagaimana yang terjadi pada ibunya. Baru akan memutar badan dan menaiki tangga menuju kamar, suara berat berhasil menghentikan pergerakannya.
"Donghyuck, kau tidak mau makan dulu?"
Dengan takut-takut, bocah itu memutar kepala ke belakang, mendapati sosok sang ayah mendudukkan diri dengan tenang di salah satu kursi, mengabaikan tubuh sang ibu yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Pistol terselip rapi di sisi mangkuk makannya, membuat Donghyuck harus menggigit bibir mati-matian untuk menahan rasa takut.
"A-ada yang ... harus aku ambil, A-ayah," jawabnya.
Seketika, sosok tenang itu menampilkan raut wajah beringas, pun menatap Donghyuck marah. "Kau menolak tawaranku!" Ia menggebrak meja, membuat segala isinya tumpah ruah, berantakan. Donghyuck tersentak kaget. Ia kembali jatuh bersimpuh di tangga.
"M-maaf, Ayah ...," ia merintih. Air mata jatuh mengaliri pipi gembilnya.
"Kau sama seperti ibumu! Sama-sama menyebalkan!"
Pria itu kembali mengambil pistolnya, pun serta-merta mengarahkannya ke kepala Donghyuck.
Donghyuck lantas pasrah. Air matanya berlinang seiring mata yang terpejam erat-erat. Donghyuck meraung tangis tanpa mampu mengeluarkan kata-kata dengan jelas. Hingga ketika suara pistol terdengar dan rasa panas menggerayai kepala, barulah ia sadar bahwa segala hal yang tengah terjadi itu tidak nyata. Setidaknya, dalam lini waktu saat ini.
Donghyuck membuka mata, bangkit dari tidur. Keringat membasahi sekujur tubuhnya, melembapkan piama. Mimpi yang baru saja ia alami adalah kejadian dua tahun lalu, di mana sang ayah membunuh ibunya dan melakukan bunuh diri tepat di hadapan Donghyuck setelah itu. Masih dalam kondisi setengah sadar, ia meraih segelas air di samping tempat tidur, pun meneguknya cepat demi menghapus rasa panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...