Hai! Sorry ya, agak lama update-nya, huhu. Masih pada nungguin nggak, nih? 😁
.
.
.
Donghyuck memandang tempat itu seiring waswas mendominasi batin. Ia sadar bahwa menyusup adalah tindakan salah, ibunya juga pasti akan membenci perbuatan lancangnya ini. Namun, Donghyuck yang hanya diam dan menonton pun sama salahnya. Sambil berpegang pada gambaran kasar rencana dalam kepala, Donghyuck siap pada segala konsekuensi yang akan ia hadapi. Sebab, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Donghyuck melangkah hati-hati memasuki rumah pinggir kota itu, tempat yang ia dapati ketika memutuskan untuk mengekori wanita mencurigakan yang ditemuinya semalam. Sesekali, ia menyembunyikan tubuh ke balik tembok, atau lemari, atau benda apa pun yang sekira dapat menyembunyikannya dari mata wanita itu.
Rumah itu tidak lebih besar dari rumah Donghyuck sebelumnya. Dua lantainya berdiri di atas lahan sempit, menjadikan ruangan-ruangan di sana terasa sesak, terlebih dengan furnitur-furnitur yang memakan tempat. Namun, benda-benda itu menjadi keuntungan bagi Donghyuck untuk bersembunyi.
Wanita itu tampak menaiki tangga setelah sebelumnya meletakkan tas belanja di dapur (Donghyuck mengekori ke mana pun ia pergi). Sambil membawa segelas susu, ia memasuki sebuah kamar di lantai atas. Donghyuck ikut menaiki tangga, dengan sangat hati-hati berusaha tidak membuat suara.
Rasa gugup, berikut permukaan dingin pegangan tangga di bawah telapak tangannya, membuat Donghyuck menggigil. Sekali lagi, ia meneguk saliva berat. Meski kedua tungkainya mulai gemetaran, ia tetap memaksakan langkah. Kini, Donghyuck harus menjadi sosok yang berani, tidak seperti dirinya yang dulu, yang selalu tunduk pada rasa takut.
Begitu mencapai puncak tangga, pintu kamar yang tak tertutup sempurna membuat Donghyuck mampu menangkap apa yang terjadi di dalam sana. Berbekal segaris celah di pintu, ia mendekatkan sebelah mata dan mengintip ke dalam. Di kamar itu, si wanita tampak mendudukkan diri di sisi ranjang, tempat seorang bocah laki-laki duduk dengan keadaan kedua tangan dan kaki terikat serta mata tertutup kain hitam.
Donghyuck sontak membulatkan mata. Kedua tangannya segera bergerak menutup mulut, menghalau sentakan napas terkejut. Ia tahu, suara sekecil apa pun yang keluar darinya akan membuat wanita itu menyadari kehadirannya. Maka, Donghyuck berusaha untuk terus bisu, meski kakinya mulai terasa goyah.
"Hwanhee, kau belum meminum susumu hari ini, Nak. Minumlah, jangan buat Ibu sedih. Ya?"
Wanita itu menyodorkan gelas susu ke hadapan mulut si bocah, sementara sebelah tangannya mengangkat dagu bocah itu, memastikan cairan susu masuk ke mulutnya tanpa bersisa.
Donghyuck melihat semua, termasuk ketika bocah itu mulai meringik tak nyaman. Ia sepenuhnya paham posisi bocah itu: terkungkung rasa terancam dan ketakutan. Donghyuck yang tak bisa tinggal diam pun segera berjingkat menuruni tangga, menyembunyikan diri di suatu tempat, lalu meraih ponsel dari ranselnya.
Ia harus meminta bantuan. Lee Jisung ada di sini, dan ia butuh Minhyung. Segera.
* * *
"Ketua Jung?"
Taeyong heran menemukan sosok Jaehyun di depan pintu apartemennya pagi itu.
Jaehyun lantas berdeham, berusaha mengusir kecanggungan. Kedua tangan di balik saku jaket parasutnya kini mengepal gemas. Ia tidak ingat sejak kapan berhadapan dengan Lee Taeyong membuatnya merasa gugup.
Gulungan hitam di bawah mata Taeyong menyita perhatian Jaehyun, tetapi pria itu berusaha bertindak sewajarnya tanpa lagak ikut campur. Walau jauh dalam hati, ia menyayangkan kondisi Taeyong, sambil merutuki diri yang tidak bisa menjalankan penyelidikan kasus dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...