"JANGAN PERNAH KEMBALI!"
Hardikan itu menuai tangisan lebih kencang, tanpa peduli lagit hitam malam, atau hujan salju yang tiada padam.
"Jangan kau berani muncul di hadapanku jika sampah dalam perutmu masih ada!" seru pria itu lagi.
"Tapi ini anakmu juga."
"PERSETAN! AKU TIDAK PERNAH MENGINGINKAN ANAK DARIMU!" Pria itu mendorong si wanita hingga jatuh ke permukaan jalan bersalju, membiarkan tubuh kurus Minji dengan perut membesar merasakan dingin menusuk dari gundukan putih itu.
Entah sudah berapa banyak tangis Minji yang tumpah hari ini, dan semua sebab pria itu, pria yang dicintainya, tetapi tak pernah menginginkan ia dan buah hatinya ada. Entah dosa apa yang telah ia lakukan hingga diperlakuan seperti itu, Minji pun tak tahu.
Dengan perut membesar, Minji terseok di tengah malam bersalju. Mantel tuanya tak cukup kuat untuk menangkis dingin, tetapi ia tetap berusaha melindungi jabang bayi yang masih satu tubuh dengannya itu. Pulang ke rumah orang tuanya jelas adalah opsi paling buruk. Ayahnya akan langsung membakar ia hidup-hidup apabila tahu putri bungsunya hamil di luar nikah. Minji tak punya pilihan selain rumah kekasihnya, tanpa menduga bahwa hasilnya akan sama saja.
Ia kemudian memutuskan bersembunyi di sela-sela gang sempit, di tempat gelap nan dingin, ketika rasa sakit di perutnya semakin menggila. Minji tak berhenti meringis, hingga ia berakhir duduk dengan kedua kaki terbuka lebar, memberi ruang bagi perut yang sudah matang.
Gejolak di perutnya kian lama semakin terasa dahsyat, seolah-olah perut besarnya akan meledak dan mencecerkan beragam isi. Minji mengerang dengan tangan terus menangkup perut, tak tahu apa yang harus dilakukan, dan ketika cairan kuning beserta darah mulai mengaliri paha terbukanya, ia tahu bahwa inilah saatnya.
Di sebuah gang kecil nan dingin, di tengah malam bersalju, Minji berusaha mati-matian melahirkan sang bayi. Hanya seorang diri, bermodal kardus yang ia lampirkan demi menopang tubuh bayinya nanti, serta ujung mantel yang ia gigit demi meredam teriakan sakit. Minji melakukan segala hal yang ia bisa untuk menghadirkan dunia bagi sang bayi, menandakan cinta kasih ibu yang tak bisa dikira maupun tandingi.
Setelah berusaha untuk waktu yang seolah terasa selamanya, jerit tangis sang bayi mengakhiri perjuangannya. Minji berhasil melahirkan bayi itu dalam keadaan selamat, dan ia tak memiliki kata yang tepat untuk mendeskripsikan betapa indah sosok bayi laki-laki yang telah ia lahirkan. Tuhan bermurah hati dengan memberi karunia sebegitu indah kepadanya.
"Selamat datang ke dunia, Hwanhee ya," bisiknya, mengecup kepala bayi yang masih berlumuran darah itu.
* * *
Minji tak bodoh. Ia tahu, keluarganya tak akan mau menerima bayi itu. Orang tuanya dipastikan akan menolak habis-habisan, bahkan mungkin akan berusaha memisahkan Minji dan sang bayi dengan cara apa pun. Hal itu membuatnya tak punya pilihan lain. Minji pun membawa bayi berusia sepuluh hari itu ke sebuah tempat, berharap Tuhan akan membukakan pintu hati salah satu umatnya untuk menerima kehadiran bayi suci tersebut.
"Jangan menangis, Sayang," bujuk Minji ketika bayi itu kembali meraung. Pipi dan ujung hidungnya merah bukan main. Ia sangat kedinginan, tetapi Minji tidak punya apa-apa selain kain mantel yang membalut tubuh sang bayi. "Kau akan baik-baik saja di sini. Tuhan akan mengirimkan orang tua yang baik untukmu. Dia akan menyayangimu seperti menyayangi malaikat suci surga. Tidak akan ada orang yang tega menolakmu, semua akan bertekuk lutut karena keindahan dan kesucianmu. Orang-orang akan menyayangimu, Sayang, dan Ibu bisa jamin itu." Minji tersenyum getir, lalu mengecup seluruh inci wajah sang bayi dengan air mata yang mengalir.
"Tapi jangan khawatir, Hwanhee ya. Sebesar apa pun rasa sayang orang-orang terhadapmu, cinta terbesar tetaplah berasal dari Ibu. Ibu akan datang menemuimu suatu saat nanti, dan kita akan hidup bahagia bersama. Tunggu Ibu sampai saatnya tiba. Ibu menyayangimu, selalu, Hwanhee ya."
Setelah salam perpisahan menyakitkan itu, Minji meletakkan tubuh sang bayi ke dalam sebuah kardus dan meninggalkannya di area pembuangan sampah dekat sebuah apartemen tua.
Sampai seorang lelaki menemukannya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...