17 - Lempengan Puzzle yang Lain

188 44 9
                                    

Lee Jisung terisak. Setelah berhari-hari penyekapan, yang tak lagi mampu ia terka hitungannya, matanya hanya boleh menatap kegelapan. Tali-tali meringkas pergelangan tangan dan kakinya di atas kasur, dengan kain kelam yang membutakan mata. Sejauh ini, satu-satunya yang Jisung tahu, ini adalah kediaman seorang wanita. Sosok penculiknya, juga sosok sama yang telah membunuh teman-teman sekolahnya.

Jisung mencoba menggerakkan ikatan tangannya, berusaha mengecek celah. Ia lelah dan kesakitan, berusaha tahu apa yang terjadi di luar sana. Matanya yang sembap terasa perih di balik kain hitam itu. Jisung lantas bertanya-tanya, apa ayahnya tahu ia diculik? Mengapa hingga saat ini, Taeyong tidak muncul untuk menjemput Jisung? Pikiran itu lantas membawa rasa takut memenuhi benak Jisung, takut akan sang ayah yang melupakannya.

Beberapa saat kemudian, suara derit pintu, berikut langkah kaki yang mendekat, menyapa rungu Jisung. Hidup dalam keadaan buta memaksa indra-indra Jisung yang lain untuk menajam, termasuk pendengaran dan kepekaannya terhadap lingkungan sekapannya.

Si wanita masuk membawa nampan berisi makanan, meletakkannya ke atas meja, lalu mengambil posisi duduk di sisi ranjang.

"Jangan menangis." Wanita itu berujar lembut begitu mendapati aliran air mata di sisi bibir Jisung yang gemetar. Tangannya terjulur, mengusap pipi bocah itu, sukses membuat Jisung semakin gemetar. "Ibu membawakanmu makanan, Hwanhee."

Dari beragam hal yang tidak Jisung pahami dari wanita ini, salah satunya adalah panggilan "Hwanhee". Nama itu terus terucap untuknya, sejak wanita itu datang sembari menangis ke dalam kamarnya, menyebut Jisung sebagai "anakku".

"B-bibi, mohon lepaskan Jisung ...." Ia berujar sambil melawan lidah yang terpuntir serta isakan.

Wanita itu lantas berdecak sambil tangan mengusak rambut halus Jisung yang bersih. Tak heran, wanita itu selalu membersihkan tubuh Jisung, memberinya asupan gizi yang baik, walau ujung-ujungnya, permukaan ranjanglah yang menjadi tumpuan akhir bocah itu.

"Panggil aku ibu, Hwanhee. Kau harus membiasakan diri, mengerti?" Wanita itu tertawa pelan, yang mana semakin membuat Jisung bergidik. "Sekarang, makanlah. Ibu suapkan."

Hal selanjutnya yang Jisung tahu adalah rahangnya yang dibuka sedikit paksa, berikut sesendok makanan yang dijejalkan ke mulutnya. Sekali lagi, Jisung dipaksa makan, dan meski terasa enak, Jisung tetap tak bisa menikmatinya. Sebab sampai kapan pun, wanita ini akan selalu membuatnya waspada.

* * *

Tatapan tajam Minhyung masih terbayang dalam benak Donghyuck. Pria itu melarangnya melakukan intervensi atas kasus penculikan yang kembali terjadi.

Sejauh ini, setelah korban terakhir bernama Lee Jisung, lebih dari satu minggu tidak ada pergerakan dari pelaku. Hal itu membuat masyarakat berasumsi bahwa si penculik sudah menyerah, terlebih saat Jisung hanya hilang wujudnya, tak ditemukan lagi dalam bentuk mayat. Semua orang perlahan mulai melupakan kasus itu, terlebih saat Donghyuck dan Minhyung tahu bahwa tersangka sudah ditetapkan oleh kepolisian. Namun, semua orang berhasil terkecoh, menjadi bidak catur yang dimainkan oleh si pelaku. Penculik dan pembunuh itu masih berkeliaran bebas, menggenggam eksistensi Jisung kuat-kuat sambil mengancam target selanjutnya.

Donghyuck menghela napas panjang, pun memelankan langkah kaki. Kepalanya berat karena terus memikirkan kasus itu, sebab menjadi abai bukan keahliannya. Donghyuck selalu menjadi orang yang terlampau peduli, hingga pada tahap tindakannya dinilai sebagai bentuk ikut campur. Setelah segala yang terjadi di masa lalunya, kepribadian Donghyuck pun dibentuk ulang, membawanya pada pemahaman bahwa diam tak selalu menjadi tindakan bijaksana. Kalau bukan ia yang memulai, maka siapa lagi?

[✓] Skizofrenia [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang