Hai! OMG akhirnya aku bisa up book ini lagi, hehe. Masih pada nungguin, kan? Untungnya sekarang aku udah agak free dan salah satu bukuku yg on-going di Wattpad juga baru aja selesai. Jadi, semoga aku bisa konsisten update di sini ya, hehe.
Maaf sebelumnya aku suka ilang"an dari cerita ini, dan terima kasih untuk kalian yang udah bertahan nunggu update-an.
Selamat membaca, ya! ❤️
.
.
.
Tusukan cahaya mentari sukses mengganggu istirahat Minhyung. Enggan, kelopak matanya terbuka, menatap geram gorden yang tersingkap di jendela. Sambil mengumpati keteledoran akibat membiarkan tirai terbuka, ia bergerak bangkit dan menarik napas dalam, berusaha mengembalikan nyawa. Istirahat semalam setidaknya berhasil mengembalikan energi yang ia gunakan untuk menguak sesuatu yang menggugah instingnya.
Minhyung kemudian menoleh pada wujud Donghyuck yang meringkuk di sebelahnya, di balik gelung selimut. Laki-laki itu masih tertidur pulas.
Si komisaris tentu ingat apa yang terjadi; ia yang nekat menyeret Donghyuck ke kediamannya begitu mereka menemukan selendangㅡdiduga barang bukti dari kasus pembunuhan sadis yang tengah terjadi. Sebab terlalu fokus pada hal yang sama-sama mereka gemari, terlebih dengan berita terbaru terkait pergerakan psikopat itu, Donghyuck berakhir enggan pulang. Ia pun bermalam di apartemen kumuh Minhyung dan tidur satu ranjang dengan si komisaris.
Tak ingin mengganggu tidur pulas Donghyuck, Minhyung perlahan meninggalkan ranjang dan menutup tirai jendela, menghalau sinar jail yang mungkin akan mengganggu tidur Donghyuck. Setelahnya, ia beranjak ke dapur dan menyiapkan sarapan.
Tak banyak yang bisa Minhyung temukan di lemari pantri selain dua cup mi instan. Sambil mendesahkan napas, ia mengambil salah satu, pun menyeduhnya. Sembari menunggu sarapan siap di atas meja, ia membuat secangkir kopi hitam: minuman yang harus selalu ada di setiap paginya.
Sembari mengaduk cairan hitam pekat itu, Minhyung berpikir, baik tentang berita yang disiarkan, petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan, juga spekulasi Donghyuck yang seolah meyakinkan. Namun, terlepas dari itu semua, Minhyung tetap merasa ragu. Baginya, semua ini masih sangat janggal. Bagaimana bisa ada seorang pembunuh yang mudah ditebak, tetapi tidak bisa segera ditangkap? Jelas ada yang keliru di sini, entah keadaan, atau spekulasi Donghyuck. Minhyung belum bisa menentukan. Lantas, yang ia lakukan adalah membawa secangkir kopi hitamnya ke atas meja makan, lalu duduk sambil menikmati mi instan. Tubuh Minhyung butuh persiapan sebelum bekerja, bagaimanapun juga.
* * *
Keringat membasahi paras Donghyuck, bersama rasa gelisah yang menyerangnya secara kurang ajar. Hal itu sama sekali tidak mau membiarkannya tidur tenang: gambaran di mana mayat sang ibu tergeletak di samping meja makan, lengkap dengan cairan merah yang merembes dari lubang di kepalanya, serta sosok sang ayah yang duduk tanpa dosa, dan ia yang hanya bisa berdiri kaku di ujung tangga.
"Donghyuck, kau tidak mau makan dulu?"
"A-ada yang ... harus aku ambil, A-ayah,"
"KAU MENOLAK TAWARANKU!"
"A-ayah ... Maafkan a-ku ...."
Percakapan itu kembali terngiang, berikut rasa takut yang menguasainya. Donghyuck berada di ujung mimpi buruk itu lagi, dan ketika suara tembakan kembali mengisi rungu dan memori, ia terbangun dengan mata membola. Napas terengah keluar dari mulut Donghyuck, berikut bulir keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan kemeja tipis seragamnya terasa basah di balik punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...