"Taeyong ssi."
Taeyong menoleh, menatap Jaehyun yang mendekat. Ia tengah menunggu di luar ruang rawat, tempat Taeil menangani Marlena, yang tubuhnya tak bisa diandalkan akibat penyiksaan interogasi terus-menerus selama beberapa hari terakhir.
Jaehyun menangkap kekhawatiran Taeyong, berikut helaan napas berat yang muncul bersamaan dengan kehadirannya. Ia sadar, memaksa Marlena dengan siksaan membuat pria ini semakin khawatir.
"Bagaimana keadaannya?"
"Dokter Moon belum keluar dan memberi kejelasan," jawab Taeyong. Ia kembali melipat kedua tangan di dada dan menyandarkan punggung ke tembok putih di belakangnya. Jaehyun mengambil tempat di sampingnya, ikut menunggu Taeil untuk keluar dan memberi mereka kejelasan terkait kondisi Marlena.
"Kurasa, aku melakukan kesalahan." Jaehyun menoleh, menatap Taeyong yang baru saja bicara. "Aku pikir Marlena bukanlah pelakunya." Laki-laki itu melanjutkan, pun membalas tatapan Jaehyun.
"Maksudmu? Semua sudah jelas, bahkan racauannya pun mendukung dugaannya sebagai tersangka."
"Dia tidak mengaku bukan karena tidak mau, tapi karena memang tidak ada yang harus dia akui."
Jaehyun meraih pundak Taeyong dan meremasnya pelan, berniat memberi kekuatan. "Tidak usah terlalu banyak berpikir. Serahkan semua pada kami. Kami akan melakukannya dengan baik dan membawa Lee Jisung padamu."
Taeyong hanya merespons dengan sebuah senyum singkat.
Beberapa saat kemudian, Taeil keluar dari ruang rawat, mendapati Taeyong dan Jaehyun yang sudah menunggu.
"Bagaimana?" tanya Jaehyun.
"Jangan menyentuhnya tanpa seizinku. Kalian juga tidak boleh melakukan interogasi sampai aku memberi tanda hijau. Kalian menyiksanya seperti binatang!" Taeil berujar berang, dan Jaehyun sepenuhnya paham.
"Maaf dan terima kasih, Dokter Moon."
"Apa kami bisa melihatnya?" Kali ini, Taeyong yang bersuara.
"Maaf, aku belum bisa memberi izin."
Taeyong pun mundur, memilih pasrah dan mengikuti prosedur. Ia paham seburuk apa kondisi Marlena, dan ia tak akan memaksa untuk apa pun. Begitu Taeil pergi, Taeyong melangkah ke depan ruang rawat Marlena, mengintip melalui kaca intip berbentuk segi empat di pintu, memastikan kondisi seseorang yang pernah dekat dengannya dulu.
Semua telah berubah. Keadaan buruk memaksa mereka menjadi sedemikian rupa. Dan dengan posisi Jisung yang belum mendapat titik temu jelas, Taeyong belum sanggup meraih akal sehatnya dengan tegas.
"Kurasa kita harus kembali, atau kau masih ingin di sini?" Jaehyun kembali bersuara, berbisik di balik pundak Taeyong yang masih membelakanginya demi menatap ke dalam ruangan. Laki-laki itu lantas menoleh, tetapi tidak memberi jawaban. Sehingga, Jaehyun melanjutkan. "Tidak maukah kau pergi dan beristirahat, Taeyong ssi?"
Pertanyaan itu akhirnya membuahkan anggukan. Taeyong menurut ketika Jaehyun meraih kedua bahunya dan menuntun ia dengan sopan menjauhi pintu, pun melangkah meninggalkan gedung itu beserta Marlena di dalamnya.
Tepat beberapa detik setelah keduanya meninggalkan pintu, satu demi satu jari Marlena bergerak merespons rangsangan, hampir membawanya menuju kesadaran.
* * *
Minhyung menghela napas berat. Gedoran di pintu apartemennya sudah terdengar sejak tadi, dan ia tak menduga Donghyuck akan sekeras kepala ini. Ia masih butuh waktu untuk sendiri, terlebih ketika kondisinya di kepolisianㅡyang menyebabkannya menghabiskan waktu penuh di apartemenㅡadalah akibat kesalahan Donghyuck yang berubah menjadi kesalahan mereka berdua. Menatap wajah bocah itu sama saja mengembalikan kekecewaan Minhyung, dan ia tidak mau sampai meledak di depan Donghyuck akibat rasa kesal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Skizofrenia [Bahasa]
FanfictionSemula, Lee Taeyong dengan bangga menganggap bahwa ia adalah orang tua yang tepat. Semula, ia juga menganggap bahwa dirinya adalah sosok ayah terbaik yang pernah ada. Ia yakin bahwa Jisung, bocah laki-laki berusia 6 itu, adalah anak paling beruntung...