18. Titik Balik

30 3 0
                                    

Dentum musik terdengar keras dari ruangan yang tak lain adalah kamar milik tuan rumah. Hampir pukul sebelas malam namun musik tidak kunjung berhenti atau sekedar dikecilkan volumenya.

Ruangan luas dengan cat dominan putih sudah terlihat bak kapal pecah, sampah kulit kacang tercecer dimana mana. Gelas bertebaran tidak hanya di meja. Tiga gitar tergelatak di atas ranjang dan satunya di kursi dekat balkon.

Willy, ingin rasanya mengusir keempat temannya ini namun apa daya dirinya.

" kecilin suaranya!" perintah Fatah, cowok yang tengah menyeruput kopi hitam.

Ozan hanya mengangkat bahu acuh, nanggung sekali musiknya lagi enak. Maksudnya masih jam sebelas belum terlalu malam, toh ini dilantai atas jadi mungkin suaranya tidak sampai bawah.

Malam ini keempat cowok tersebut sengaja bermain di rumah Willy, mereka datang sekitar pukul setengah sepuluh tadi.

Willy meremas ponselnya, kesal sekali saat pesanya hanya diread. Sesibuk apa dia diseberang sana hingga membalas ketikan saja tidak bisa. Ingin ia melempar ponsel itu kearah Ozan agar tidak lagi berisik dengan musik koplo namun ia masih sayang dengan ponselnya itu.

" kenapa lagi lo?" tanya Rico dengan wajah heran menatap Willy yang seharian ini tidak jelas. " Keyra lagi?"

Willy mendengus kesal, apa sih yang tidak diketahui teman temannya. Sulit sekali menyembunyikan hal dari mereka. " sok tau! Minggir sana jangan deket deket gue!"

" sensi banget lo, lagian siapa juga yang mau deket sama lo galaknya ngga ketolong kalo gini terus jadi bujang lapuk lo!"

Willy jadi panas mendengar coloteh Rico yang saat ini tengah berjalan kebalkon, menghampiri Fatah dan Devan yang sedang merokok di luar. " bangsat lo!" namun suaranya diabaikan oleh Rico.

Willy menghela nafas pajang lalu melempar ponselnya asal keranjang. Ia bangkit menuju balkon membiarkan Ozan di dalam sendirian. Cowok itu sepertinya sedang galau karena sejak kemarin terus menyanyikan lagu koplo pikir keri.

" geser lo!" perintah Willy membuat Fatah sedikit menggeser pantatnya. Mereka berempat duduk di kursi besi panjang yang menghadap langsung ke light city tentunya dengan rokok yang selalu menjadi pelengkap.

" guys" panggil Rico membuat ketiga temannya menatap ngeri.

" apaan pake guys segala, merinding gue dengernya" ujar Devan, tidak biasa dengan panggilan semacam itu.

" elah ribet, ngga gaul lo!" celetuk Rico. " btw anak donatur kedua siapa sih?! Masih ngga tau gue, padahal gue yakin bukan Salsa tapi tuh cewe berlaga sok banget, dia anak donatur keempat kan?"

Mendengar itu membuat Devan dan Fatah  saling pandang, jadi Rico belum tau. Lain dengan Willy yang acuh. Cowok berkaos putih polos itu sibuk menyesap rokok dengan raut rahang mengeras.

Bertanya tanya bagaimana kabar gadis itu. Apa dia baik baik saja.

" buat apa sih lo kepo?" tanya Fatah mengepulkan asap pekat itu.

" kepo aja, ngga pernah ada yang tau kan siapa sebenernya anak donatur kedua, gue pingin kasih tau Salsa biar tuh anak ngga sok berkuasa banget!" Rico panjang lebar.

" udah watak Co, sekalipun lo kasih tau Salsa ngga akan berubah" jeda Devan menyesap dalam rokoknya. " udah bentukannya gitu"

Rico lalu menerawang, ingat jelas bagaimana sosok Salsa Amma berulah seenak jidat. Tidak jarang Rico merasa iba pada salah satu korban Salsa, pernah Rico lihat seorang siswi kelas sepuluh dibully habis habisan hingga mengundurkan diri dari sekolah. Mungkin siswi tersebut merasa lelah selalu dipandang rendah hanya karena dirinya siswi beasiswa.

PHUBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang