Selayaknya segaris lintang jingga dalam biru senja.
Atau selayaknya seutuh hangat menyelimuti setiap manusia ditemuinya.
Wajahnya terangkat menampilkan senyum tanpa seraut luka.
Namanya Ciera Pelita.
Seharusnya surat dalam kotak ungu itu dikirim pad...
Oke, kayaknya udah cukup. Aku udah bener-bener berhenti sekarang. Semuanya percuma. Seharusnya dari awal aku gak bertahan aja! Seharusnya dari awal aku gak terlalu berharap sama hal kayak gini. Seharusnya aku inget kalau aku hanya punya diriku sendiri pada akhirnya.
Tapi kenapa sih? Setiap aku percaya, setiap aku berharap, semua bakal runtuh dengan cepat. Sia-sia aja bikin list kalau ujung-ujung gak ada yang bisa menerima dan memehami. Aku capek banget. Capek. Capek banget. Aku udah lelah banget kerja, sekolah ketemu orang-orang.
Tahun depan bakal menguras tenaga banget, kelas tiga SMA butuh biaya mahal buat kelulusan, Bibi cuma bayar sewa kontrakan buat satu tahun dua bulan. Kalau aku bertahan aku harus cari kerja tambahan, aku harus mati-matian belajar, aku harus pura-pura baik-baik aja.
Aku udah lelah. Gak ada harapan. Lagian aku gak punya apa-apa lagi. Aku gak berharap apa-apa.
Aku gak punya lagi alasan buat bertahan bahkan alasan konyol sekalipun.
Udahlah, sampai sini aja. Barangkali dunia gak salah, semua orang di dalamnya pun gak salah. Satu-satunya yang salah cuma aku.
Ciera Pelita
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia berdiri mematung pada tepi keramaian orang lalu lalang, hentak-hentak kaki, suara-suara kendaraan. Mega kelabu angkasa menyeruak dalam penglihatan. Menengadah memastikan lagi gerimis menyentuh permukaan wajah.
Mengusap kedua siku, Ciera terdiam beberapa saat. Puas menyimpan keadaan sekitar dalam benak, melangkah kaki menuju ke arah tengah jembatan. Serbuan angin menerpa menerbangkan helai-helai rambut kian berantakan.
Memeluk erat tubuhnya berbalut jaket merah marun kesayangan. Jaket pemberian sang nenek di ulang tahunnya yang ketiga belas, jaket kebesaran menemani hampir keseharian.
Langkah demi langkah terasa berat, tetes-tetes air kian menderas.
Ciera menggigil bukan karena suhu udara menurun, tubuhnya bergetar merasakan dinginnya jalanan hidup di dunianya yang suram sempit tak berpenghuni.
Ia kehilangan semuanya, jatuh tersungkur merangkak dalam kesepian membelenggu seluruh relung hati hancur itu.
Tiada yang abadi di dunia ini katanya, barangkali benar. Tidak ada yang abadi termasuk kesedihan.
Namun Ciera terlalu lelah mencari celah dalam resah yang kian merengkuh kuat. Bahagia terasa sebuah dusta semanis madu. Maka kali ini tak apa.
Ia akhiri saja kesedihan ini dengan caranya sendiri, entahlah setelahnya. Ia tak ingin peduli.
Guyuran hujan membasahi seluruh pakaiannya. Kali ini tak ada lagi jas hujan biru, telah ia tinggalkan dalam kamar kontrakan sambungnya, tak ada lagi penampilan aneh karena takut kehujanan berakhir demam. Ciera tidak takut rembesan air itu membuatnya kuyup memeluk beku.