Teruntuk bulan Januari.
Nenek meninggal akhir tahun kemarin, bibi bilang aku bakal tinggal sama dia. Tapi beberapa bulan setelahnya dia berubah pikiran, katanya aku lebih bagus ngejaga rumah nenek.
Rumah itu sepi, gak ada orang di sana, gak ada siapapun di dalamnya. Katanya bibi bakal kasih aku uang setiap bulan sebagai gantinya, aku hanya perlu hidup mandiri dan katanya aku terlalu rindu nenek dan rumah ini. Tapi nyatanya, aku gak rindu apapun, aku gak kangen apapun. Katanya aku butuh waktu sendiri buat nenangin diri dan katanya aku udah waktunya mandiri. Tapi aku udah mandiri dari kecil, dan aku seharusnya gak sendiri. Suara-suara monster itu nyeremin. Suara-suara monster itu gak bikin dengan mudah aku nenangin diri.
Ada yang salah di sini, seharusnya aku gak begini. Seharusnya aku gak di sini, tapi kenapa semua orang ninggalin aku di sini?
Bibi kadang lupa kirimin uang, aku jadi sadar parasit banget di keluarga orang. Aku berusaha buat hidup, aku berusaha buat bertahan sendirian. Jadi pulang sekolah aku pergi ke toko pertanian buat beli beberapa bibit sayuran. Seengaknya pekarangan belakang rumah nenek bisa aku pake biar gak susah amat.
Tapi kenapa semua orang ninggalin aku di rumah ini sendirian?Apa udah seharusnya begitu?
Ciera
Hening, tapi pikirannya terlalu berisik, Ciera membuka pintu rumah. Terdiam cukup lama di sana. Dulu sebelumnya meskipun agak lengang, akan ada setidaknya satu orang yang duduk di ruang tamu menonton televisi menoleh ke arahnya membuka pintu, tapi sekarang semua benar-benar kosong, sepenuhnya menghilang ditelan waktu menyisakan Ciera sendirian di sana bersamaan dengan perasaan-perasaan hampanya juga anak-anak pikirannya yang kejam.
Masuk membuka sepatu merasakan dinginnya lantai keramik rumah, melempar tas sembarangan ke atas sofa. Tidak ada aturan yang berlaku di sini, semuanya semau Ciera, semuanya sesuka hatinya.
Namun entah mengapa Ciera ingin aturan-aturan lama rumah itu kembali digunakan dengan sanksi-sanksi yang akan dijalankan. Kakinya melangkah menuju dapur membuka kulkas sana dan hanya mendapati botol-botol berisi air putih. Jam dinding terdengar berdetak kencang, gadis itu terduduk di kursi makan.
"Sekarang apa?" tanyanya pada diri sendiri, meringis kecil menenggelamkan kepalanya. Beranjak menuju tempat beras yang kosong, memeriksa isi lemari berharap setidaknya ada satu mi instan tersisa, sialnya tidak ada apa-apa.
Mengigit bibir bawahnya hingga berdarah, Ciera meronggoh saku roknya mengeluarkan beberapa set benih sayuran.
"Gini amat nasib jadi manusia," gumamnya beranjak membuka pintu belakang, memeriksa tunas-tunas sayurannya.
"Kapan sih kalian gedenya? Gue udah keburu laper ini," omelnya pada sekumpulan tumbuhan sayur sawi.
Halaman belakang rumah nenek tidak terlalu besar, berpagarkan kayu setinggi semeter lebih, dulu hanya digunakan sebagai tempat menjemur pakaian saja. Pekarangan itu telah disulap menjadi kebun mini oleh Ciera, hitung-hitung investasi buat bertahan hidup. Dia memulai menanam berbagai sayuran, kangkung, sawi, bayam, terong, cabe. Toh, untuk pupuknya dia bisa menggunakan pupuk kandang alami yang dengan senang hati dikasih oleh bu Minah samping rumah yang punya banyak ayam. Toh, tai ayam kan gratis tidak dijual, tapi ya bau. Butuh perjuangan keringat dan badan pegal-pegal mencangkul tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Januari
أدب المراهقينSelayaknya segaris lintang jingga dalam biru senja. Atau selayaknya seutuh hangat menyelimuti setiap manusia ditemuinya. Wajahnya terangkat menampilkan senyum tanpa seraut luka. Namanya Ciera Pelita. Seharusnya surat dalam kotak ungu itu dikirim pad...