22.00 Papa: Gadis Kecilnya

2.6K 855 69
                                    

"Egois adalah sifat dasar manusia, jadi jangan heran ketika kamu terkhianati berkali-kali."
✉✉✉

Sebenarnya sudah sangat-sangat lama Irwin merasakan sensasi tercegal ketika pulang, mungkin saat semasa muda SMA. Dirinya sudah terlalu tua, mendapati empat remaja cowok masih mengenakan seragam sekolah, berdiri mengepungnya dari berbagai sudut halte berkarat seberang sekolah dasar. Kerutan pada wajahnya bertambah dua kali lipat tak mengerti. Memproses kejadian yang barusan terjadi.

Maniknya memandang bergilir ke arah remaja-remaja tersebut mencoba mengingat-ingat apakah pinggang encoknya ini pernah terlibat perkelahian anak sekolah zaman sekarang.

"Ini bapak kan?"

Satu di antaranya berperawakan bule begitu tinggi menatap tajam menunjukan sebuah foto lama ke arahnya. Kertas foto mulai menguning yang separuhnya telah robek.
Sontak saja membuatnya terkejut bukan main. Dari mana pula anak-anak ini menemukan foto masa mudanya bertahun-tahun lalu? Bahkan ia sudah lupa kapan foto tersebut dipotret.

"Maaf kalian siapa ya?"

Keempat anak tersebut melempar pandang satu salam lain dengan wajah saling menuntut bersuara menjawab. Tak lama dari kejauhan seorang anak perempuan berseragam merah putih kuncir dua berlari menghampiri.

"Papa!" teriaknya meloncat dalam gendongan sang papa riang. Pipinya merona, keringat bercucuran serta napas agak tak beraturan.

"Kika jangan lari-lari, nanti jatuh."

"Hehehe." Sang anak tertawa menampilkan gigi ompong, Pipi chubby itu semakin mengembang ketika ia tersenyum, matanya bulat besar menyipit selayak bulan sabit. Begitu mengemaskan.

"Abang-abang ini siapa?"

"Papa juga gak tau."

Semuanya mendadak senyap. Aksara menyenggol bahu Kai keras memberi kode, sedangkan siempunya mendengus sebal. Beberapa pasang mata menatap mereka aneh. Mulut ibu-ibu mulai terdengar menjengkelkan. Panas terik siang matahari menyengat belum lagi bising kendaraan jalan ramai.

Keempatnya sepakat bolos sekolah Senin ini sejak pagi sekaligus modus tidak ikut upacara bendera. Kenzie sih tak masalah soal upacara bendera, toh, biasanya juga ia diizinkan menunggu di kelas atau pun UKS. Lama-lama kafe Jingga benar-benar akan menjadi titik temu keempatnya, benar-benar akan menjadi markas kasat mata mereka. Belum lagi harus akting pura-pura berangkat bareng padahal Kai sendiri beda sekolah. Terus ketemu bang Agus dan mbak Yaya bersekongkol komporin bunda.

Susah sekali memang hidup ini, untungnya Kai berhasil menghindari napan mengkilap milik bunda di kafe pagi ini dengan baik. Serta kabur menaiki mobil Oza.

Bolos sekolah juga butuh perjuangan, apalagi harus bolos dari kehidupan.

"Ciera Pelita." Kenzie membuka mulut, pria dewasa itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius.

"Kelian kenal dia?"

Keempatnya mengangguk kompak, terutama Kai yang paling semangat. Aksara mengeplak anak itu agar sadar.

"Apa sih?" sewotnya tak terima.

"Bisa waras dikit gak sih?"

"Kayak situ waras aja."

Oza mendengus mengeluarkan kotak ungu dari ransel, memperhatikan lamat-lamat merasa tak mau melepaskan, embusan napas panjang mengudara.

Suara-suara klakson bersahutan di jalanan sana memekakkan pendengaran.

Aksara masih ingat ini adalah halte di mana Ciera duduk menunggu seseorang yang ternyata papanya. Duduk termenung melihat gerbang sekolah dengan mata bengkak tatapan kosong. Menunggu dengan perasaan sepi dalam keramaian manusia.

Surat Untuk JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang