Prolog

18.1K 2.1K 105
                                    

"Dunia bakal tetap baik-baik aja bahkan setelah gue pergi." Gadis itu tersenyum sendu.

"Kenapa?"

"Karena seharusnya gue emang gak ada di dunia."

✉✉✉

Derai hujan menguyur seluruh permukaan bumi, kepulan-kepulan asap knalpot kendaraan tak lagi terlihat.

Umpatan-umpatan makian keluar dari mulut-mulut para pejalan kaki tak beruntung membawa payung. Kafe-kafe serta restoran dekat simpang tiga jalanan ramai pengunjung.

Berbagai macam payung warna-warni menghiasi trotoar. Rambu lalu lintas yang bekerja sebagaimana biasanya, dedaunan yang bergoyang terkena tetes air. Embus angin menusuk tulang.

Itu adalah Selasa sore dengan hujan lebat sedari siang tadi, masih mengenakan setelan seragam sekolahnya. Gadis berambut hitam panjang sepinggang tergerai itu berjalan pelan, payung hijau digenggam erat. Ransel di punggung yang memberat.

Manik matanya mengitari sekitar, wajah kusut dengan tubuh sedikit menggigil.
Ciera Pelita, terdiam beberapa detik menyaksikan bagaimana orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, datang pergi.
Mengabaikan hadirnya yang tak lebih sebuah eksistensi tak berguna. Sebuah piguran dalam cerita manusia lainnya. Tak diperlukan.

Bibirnya terkatup rapat, kemeja sekolah tipis membuatnya sedikit bergetar.

Rambu lalu lintas berganti merah, ragu-ragu. Kakinya mulai ia seret menuju ke tepi sana. Perlahan melewati deras air jatuh, menyibak tirai dingin itu dengan pikiran melalang buana.

Menghirup napas panjang, hidup monokrom, hitam putih hari-hari. Menyelipkan keluhan-keluhan pada lubuk hati si gadis.

Rambut panjang sepunggungnya diterpa angin, tepat sebelum satu langkah lagi kakinya menginjak trotoar seberang. Suara keras klakson mobil memekakkan telinga, cahaya sorot lampu terang menyilaukan lalu bedebum keras menghantam kencang menyeret tubuh itu bermeter-meter jauh ke depan berguling ke aspal.

Yang Ciera ingat adalah bagaimana perih luka mengisi setiap kulitnya, bagaimana rasa ngilu menyerang tubuhnya, bagaimana sakit merambat menguasai setiap inderanya.

Dadanya naik turun merasakan betapa oksigen susah ditarik masuk. Payung hijaunya terbang tergiling roda-roda pengendara.

Aroma petrikor menguar bercampurkan amis darah menggenangi jalanan. Menciptakan genangan darah mengerikan.

Tak ia rasakan lagi dingin beku menusuk, tulangnya yang terasa remuk itu menghantarkan sensasi pusing luar biasa. Matanya mencoba terbuka menatap langit kelabu menggantung menghiasi angkasa. Betapa semesta telah bekerja keras seperti biasanya, maniknya mengerjap kesulitan menatap. Semuanya mengabur lenyap.

Terbatuk beberapa kali.

Jauh di sana kerumunan mulai berdatangan memekik keras bersahutan akan klakson mengisi jalanan. Dialog-dialog yang mengambang di telinganya.

Perlahan tapi pasti rasa sakit kian memudar tergantikan oleh sensasi ringan menguasai tubuh. Matanya membawa memasuki hitam yang siap menelannya jauh ke dalam kegelapan antah berantah.

Hentak-hentak terdengar mendekat entah untuk mendekapnya dari dingin jalanan aspal atau mengabdikan potretnya untuk sampul majalah koran esok. Ia tak lagi punya kekuatan untuk sekadar menilik apa yang terjadi.

Oksigen terasa tak bersahabat, menyelam ke alam sadar, sayup-sayup pendengarannya menangkap teriakan minta tolong serta suara-suara riuh mengalahkan hujan. Hingga akhirnya semua terenggut bersama detik terlewat.

Barangkali tak apa.

Sungguh tak apa-apa

Berakhir menjadi manusia lalu tak lagi menjadi apa-apa.

Takutnya menghilang, kebisingan sepenuhnya lenyap dan Ciera berharap setelah matanya tertutup sore mendung ini, ia tak lagi terbangun di keesokan hari menerima kembali kengerian masa depan.

Dan satu-satunya yang Ciera tahu.

Semuanya menghilang dari dunia, termasuk dirinya sendiri.

Dan ia harap memang begitu

✉✉✉

Mulai dipublis Kamis 9 September 2021

Surat Untuk JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang