Ayana's POV
Aku berjalan di koridor kampus dengan langkah gontai. Ternyata doaku tadi pagi ngga dikabulkan. Hari ini bakal menjadi hari yang berat banget, baik untuk fisik maupun keadaan mentalku. Tadi setelah menyusul kating sialan itu yang ternyata menuju salah satu ruangan yang digunakan para panitia, lagi dan lagi aku diomelin habis-habisan, tapi tanpa bentakan.
Ada hampir satu jam aku berdiri di depan dia yang duduk santai di atas kursi, dan aku hanya menjawab seadanya setiap ocehan dia. Setelah selesai dengan omelannya, dia natap aku lama yang sama persis kaya dia natap aku di lapangan tadi. Aku masih menundukkan kepala tanpa ada sedikitpun keinginan untuk menatap dia juga.
"Lo denger kan semua yang gue omongin? Jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Dunia perkuliahan ngga semenyenangkan yang lo pikir. Lo harus disiplin, lo juga harus survive karena pasti kedepannya mental sama fisik lo bakal dihantam kanan kiri muka belakang. Jujur gue emang emosi sih tadi, karena lo satu-satunya yang ngga taat aturan. Tapi yang gue lakuin ke lo di lapangan tadi itu bukan karena gue kebawa emosi, tapi gue sengaja nguji mental lo. Gue minta maaf kalau bahasa gue terlalu kasar. Tapi disini lo tetep salah, dan gue ngga mandang lo cewe atau cowo, lo tetep harus jalanin hukuman. Sekarang lo ke gudang. Bersihin sebersih mungkin, dan jangan pulang sebelum tuh gudang bener-bener bersih. Kalau lo udah selesai, lo bisa cari gue atau panitia lain untuk ngecek hasil kerja lo," ucap laki-laki itu sebagai penutup ocehan panjangnya,
"Baik kak. Sekali lagi saya mohon maaf kak," jawabku sambil sedikit menunduk untuk meminta maaf,
"Sekarang lo boleh pergi."
Setelah mendengar kalimat terakhirnya, aku berbalik meninggalkan ruangan itu. Aku sempat bertemu beberapa panitia ospek lain dan menanyakan dimana gudang yang dimaksud kating sialan itu, setelah paham dengan penjelasan jalan yang harus ku lewatin, aku ngucapin terima kasih dan segera menuju ke gudang itu. Aku pengen cepet-cepet selesai, aku pengen cepet-cepet pulang, maka dari itu aku mempercepat langkah kakiku.
Setelah sampai di depan pintu gudang, aku membuka gudang itu dengan kunci yang ku dapat dari beberapa panitia tadi. Dan setelah aku buka, isi dalam gudang sama sekali berbeda dengan apa yang aku bayangin.
Di kepalaku, aku membayangkan akan menemukan gudang yang ngga terurus dan dipenuhi debu tebal, tapi ternyata justru sebaliknya. Gudang ini rapi banget, beberapa perabot seperti meja pun tersusun di sudut dan ngga berantakan sama sekali. Hanya lemari yang penuh dengan kertas yang berserakan, selebihnya ruangan ini ternyata sudah bersih.
Merasa senang karena pekerjaan ini ternyata ngga seberat yang aku bayangkan, tanpa sadar aku menangis, lagi. Aku ngelepas semua sesak yang ku tahan dari tadi, aku nangis yang bener-bener nangis sekarang. Hal yang selalu ku lakuin cuman kalau aku lagi sendirian. Aku bisa nahan tangis di depan orang-orang -kecuali di posisi terpojok kaya tadi-, tapi aku ngga bisa nahan tangis kalau lagi sendiri.
Setelah aku puas ngelepas semua tangisan, aku merasa jauh lebih baik sekarang. Dengan menghembuskan nafas lega aku pun bangkit dan memulai pekerjaanku, membuka lemari, kemudian menyusun kertas-kertas yang berserakan di dalamnya. Dari yang aku baca, kertas-kertas ini sebagian besar merupakan kertas proposal, juga ada beberapa poster acara, dan beberapa lainnya.
Hampir seharian aku duduk, berdiri, dan melakukan itu berulang kali, karena ternyata 3 lemari besar disini semua isinya adalah kertas yang berserakan. Setelah selesai dengan semua kertas-kertas itu, aku memutuskan untuk mencari kain yang bisa ku gunain untuk mengelap meja juga lemari-lemari yang ada disini.
Karena belum ketemu juga, aku mencoba mencari di bagian atas lemari dan mulai menaiki meja-meja yang ada di sudut ruangan. Akibat terlalu fokus mencari, secara ngga sadar aku menginjakkan kaki persis di ujung meja, yang membuat meja oleng dan jatuh begitu aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
If I Got You
Teen Fiction"Aku Ayana, lengkapnya Ayana Azkayra. Bunda bilang, arti namaku bunga yang indah, bunga yang dihormati semua orang. Tapi kenyataannya dalam hidup, aku ngga pernah merasakan yang namanya dihormati sama sekali. Aku benci dengan kenyataan dimana kehidu...