14. Jatuh Lagi dan Lagi

40 3 1
                                    

Dua bulan sudah berlalu, sejak kejadian Ayana menangis di pelukan Heka sehabis berkunjung ke rumah laki-laki itu. Dua bulan juga sudah Heka akhirnya mengetahui sedikit tentang hidup Ayana. Tentang kedua orangtuanya, Ayana menceritakan itu semua.

Tapi sejujurnya, Heka merasa puzzle ini belum lengkap. Masih ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin dia tanyakan, tapi pada akhirnya dia lebih memilih diam. Dia berusaha mengerti bagaimana perasaan Ayana. Biar semua itu dia ketahui ketika Ayana yang ingin bercerita, bukan karena harus menjawab pertanyaan darinya.

Heka mencintai gadis itu. Sangat. Dengan menyadari betapa sakitnya dia ketika gadis itu menangis, Heka sadar bahwa dia benar-benar mencintai Ayana. Begitu pun dengan Ayana. Dia menyayangi Heka. Sangat. Tidak perduli apapun status di antara mereka, selama Ayana masih bisa melihat Heka, masih bisa bertemu dan merasakan peluknya, bagi Ayana itu sudah sangat cukup.

Dua bulan berjalan, mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Berangkat dan pulang kuliah berdua, membeli keperluan kost Ayana berdua, mereka benar-benar semakin dekat. Tanpa perlu ada yang berucap, mereka memahami bahwa mereka butuh keberadaan masing-masing.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, dan mereka baru saja sampai di salah satu warung bakso pinggir jalan langganan Heka. Selama di perjalanan Heka terus mengeluh lapar, karena seharian ini lambungnya benar-benar tidak menyentuh nasi sama sekali.

Minggu kemarin Heka dipilih menjadi ketua panitia Musyawarah Besar yang diadakan jurusannya. Hal itu yang membuat Heka menjadi super sibuk karena banyaknya tuntutan tanggung jawab yang harus dia kerjakan.

"Kakak bisa ngingetin aku buat makan, ngomelin aku harus disiplin makan, bahkan sampai bawain makanan buat aku. Tapi kenapa Kakak ga bisa kayak gitu juga ke diri Kakak sendiri?" ucap Ayana membuka percakapan ketika mereka sudah duduk sambil menunggu pesanan mereka.

Heka yang ditanya terdiam, memutar bola matanya, menunjukkan ekspresi berpikir untuk menjawab pertanyaan Ayana,

"Kakak ngga mau aku sakit, tapi emangnya Kakak sendiri mau kalo sampai sakit? Kalau Kakak sakit emangnya kerjaannya bisa selesai sendiri? Rapat-rapat koor dan segala macamnya, Kakak pikir bisa berjalan kalau tanpa Kakak?" tanya Ayana lagi, menatap Heka dengan serius.

Bukannya takut, Heka justru tersenyum. Menopang dagunya dengan kedua tangan, menatap hangat Ayana yang sedang mengomel di depannya.

Jantung Ayana berdegup kencang karena tatapan itu. Tatap mata itu, walaupun merupakan hal favoritnya, tapi tetap saja jantungnya selalu tidak baik-baik saja kalau bertukar tatap dengan mata teduh itu.

Ayana kalah. Akhirnya Ayana yang memalingkan wajahnya menghindari tatapan Heka. Melihat hal itu Heka tertawa, membuat Ayana semakin tersipu malu sambil ikut menahan senyumnya.

"Lucu banget sih! Jangan lucu-lucu gitu dong. Gue gemes pengen meluk jadinya," ucap Heka, masih dengan sisa tawanya,

"Lagian gue sehat-sehat aja kok. Cuma ya kalo lagi laper emang mulutnya suka ngoceh-ngoceh, jadi ngeluh lapar mulu,"

"Gue sakit juga gapapa, kalo emang lagi waktunya sakit ya sakit. Lagi juga gue punya lo. Ada yang ngurusin jadinya," ucap Heka dengan mengedipkan kedua matanya genit.

Ayana kembali menatap Heka, diam sebentar sambil menatap mata teduh favoritnya itu, kemudian berucap,

"Jangan sakit ya. Harus ingat jaga kesehatan. Karena aku cuma punya Kakak."

Heka tersenyum mendengarnya. Dengan menganggukkan kepalanya, digenggamnya kedua tangan Ayana, mengelusnya lembut.

Setelah itu pesanan mereka datang. Dua mangkuk bakso dan dua gelas air putih. Dengan lahap Heka menghabiskan makanannya. Jelas sekali terlihat kalau laki-laki itu bener-bener lapar. Ayana tersenyum geli melihat pemandangan di depannya, melihat Heka makan menjadi salah satu hal favoritnya dari seorang Heka Abirama.

If I Got YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang