18. Keluarga, Kita

34 3 0
                                    

Setelah kepulangan sahabat-sahabatnya, Heka melangkah masuk kembali ke ruang IGD. Dan begitu dia sampai di tempat Ayana tadi berbaring, sudah tidak ada gadis itu disana. Dia bertanya pada salah satu perawat, ternyata Ayana sedang menjalani pemeriksaan seperti yang tadi dokter itu katakan.

Akhirnya Heka memilih untuk keluar, berniat untuk menghubungi sang Mama. Heka mencari nomor telepon sang Mama lalu memencet tombol call sambil mendudukkan dirinya di kursi yang tadi dia duduki bersama yang lainnya.

"Ma..." ucap Heka begitu telepon itu tersambung,

"Iya, halo Bang? Kenapa, Nak?" jawab sang Mama.

Demi mendengar suara Mama, mata Heka kembali berkaca-kaca, perasaan sedih dan sakit ini masih sangat terasa sampai-sampai dia ingin menangis kencang sekarang juga.

"Bang? Kok diam? Ada apa sih, Bang?" ucap sang Mama lagi karena Heka hanya diam, tidak menjawab,

"Mama bisa ke rumah sakit sekarang ngga, Ma?" tanya Heka dengan suara bergetar, berusaha menahan tangisnya.

Hening sejenak. Sang Mama tidak menjawab apa-apa. Heka tau Mama pasti sedang terkejut sekarang.

"Bukan Abang, Ma,"

"Bukan Abang yang sakit, tapi Ayana," ucap Heka lagi, mulai meneteskan air mata di pipi kirinya yang dengan cepat dia usap,

Mendengar itu, Mama Heka tersadar. Dia tahu sekarang keadaan putra sulungnya sedang tidak baik-baik saja.

"Iya. Mama kesana sekarang. Abang tunggu disitu ya, Nak. Mama langsung berangkat sama Dira," akhirnya sang Mama menjawab.

Dan tak lama setelah itu sambungan telepon terputus, setelah Heka mengatakan nama rumah sakit dan meminta untuk dibawakan pakaian ganti oleh sang Mama.

Heka masih terduduk, punggungnya bersandar pada dinginnya dinding rumah sakit. Keadaannya sekarang benar-benar berantakan dengan wajah pucat dan baju basah yang masih terdapat bercak-bercak darah Ayana di lengannya.

Tidak pernah Heka merasakan sesakit ini dalam hidup. Heka tersadar, Ayana lebih dari sekedar 'seseorang' untuknya. Ayana adalah dunianya. Melihat dan mendengar Ayana menangis saja dia merasa sakit, bagaimana dengan sekarang? Melihat Ayana yang berlumur darah, terbaring dengan mata tertutup dan bibir pucat, Heka merasa dunianya runtuh sekarang juga.

Berlebihan? Tidak. Tidak ada kata 'berlebihan' jika soal perasaan. Perasaan murni dari hatinya yang terdalam, bahwa dia ikut sakit dengan apa yang terjadi pada gadisnya.

Dalam diamnya, dengan suara lirih dan bergetar Heka merapalkan doa, meminta kesembuhan untuk Ayana. Pernah ada sebuah kalimat yang mengatakan bahwa, jika ingin mendengar doa-doa yang paling tulus, maka pergilah ke rumah sakit. Karena percayalah, dinding rumah sakit menyimpan begitu banyak rapalan doa dan harapan yang begitu tulus dibandingkan dinding mana pun.

Jika bisa menjadi saksi, dinding rumah sakit yang akan mengatakan betapa banyaknya manusia yang melangitkan doa, merendahkan diri serendah-rendahnya kepada yang Maha Kuasa. Dan itu yang Heka lakukan sekarang. Dengan segenap hati dia meminta, memohon kepada Tuhan untuk berhenti memberikan rasa sakit kepada Ayana. Gadis itu sudah terluka di sisa hidupnya yang tidak lagi memiliki siapa pun, tolong hentikan semua rasa sakitnya dan izinkan Heka membawa gadis itu keluar dari masa lalu kelamnya, dari penderitaannya. Heka berjanji tidak akan menyakiti gadis itu, Heka juga berjanji setelah semua ini dia akan selalu menjaga Ayana sampai kapan pun.

Heka masih duduk melamun sampai tidak menyadari bahwa sang Mama dan Dira sudah sampai dan berjalan cepat ke arahnya. Dan begitu sampai di dekat Heka, sang Mama langsung mendudukkan dirinya di sebelah laki-laki itu, begitu juga dengan Dira.

If I Got YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang