BAB VII

5.4K 275 13
                                    

Tarik napas dalam-dalam kemudian keluarkan. 😂
So, langsung aja ke ceritanya ya. 💛

___

Daffa menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali tersenyum miris mengingat betapa menyedihkannya dirinya. Dia baru saja melihat kejadian yang tidak menyenangkan. Intan berciuman dengan Sebastian di dapur. Demi apapun, hal itu sangat menyakiti hatinya. Bodohnya dia pergi begitu saja tanpa Intan dan Sebastian sadari. Mungkin seharusnya dia menegur mereka, atau sekedar berdeham menghentikan mereka. Namun dia tidak melakukannya.

Daffa tidak bisa menyalahkan siapapun. Bagaimana pun juga, ini semua sangat rumit. Daffa tidak mau membuat Intan merasa bersalah. Dia juga tidak ingin mengatakan apa yang baru saja terjadi pada kakaknya. Mungkin ini salah di dalam perjanjian Dania, Sebastian, juga Intan. Namun bagaimana pun Sebastian tetap suami Intan. Dan fakta bahwa Intan menyukai Sebastian. Hal itu mustahil untuk tidak terjadi saat mereka bersama.

Ingatan beberapa hari lalu berputar di kepala Daffa. Di saat dia menanyakan pertanyaannya pada Intan. Kepingan-kepingan kata menjadi sebuah jawaban. Wanita itu tidak mau mengatakannya. Daffa sendiri yang tetap memaksa Intan untuk menjawabnya.

...

"Kedua." Daffa kembali memberi jeda pada kata-katanya.

"Apa kamu mencintai Kak Sebastian?" Tanyanya yang membuat Intan melebarkan kedua matanya. Wanita itu susah payah menelan ludah.

"Bukan urusanmu, Daff!" Intan mengalihkan pandangan, tak lagi menatap Daffa.

"Kamu cukup katakan saja, In!" Paksa Daffa.

"Itu hal pribadi." Jawab Intan tegas.

"Bagus, kalau gitu syarat kedua gak lolos. Jadi aku bisa bilang ke Kak Dania atau Kak Sebastian dong." Daffa menyeringai kecil, merasa menang.

"Jangan kurang ajar, Daff!" Intan menatap Daffa tajam.

"Kamu sudah setuju sama kesempatannya, In." Balas Daffa santai.

Intan terdiam, seperti mempertimbangkan sesuatu. Dia bingung hendak menjawab apa pada Daffa. Kalau dia berkata jujur, apa tidak apa-apa? Selama ini dia hanya menyimpan perasaannya sendiri. Tidak ada orang yang tahu perihal rasa cintanya pada Sebastian.

"Atau kamu mau sedikit permainan? Kamu boleh memilih warna yang mengartikan sesuatu. Merah, artinya kamu mencintai Sebastian. Warna kuning, artinya kamu tidak mencintainya. Dan kamu harus jujur." Daffa tersenyum kecil.

Intan menatap bingung pada Daffa. Namun akhirnya dia mengangguk saja.

"Jadi, merah atau kuning?" Tanya Daffa lagi.

"Merah." Jawab Intan jujur. Wanita itu menunduk tanpa berani menatap Daffa.

Daffa tersenyum kecut, bahkan tertawa hambar. Dia seharusnya tahu apa yang akan Intan lontarkan. Dia sudah bisa menebaknya dengan hanya melihat. Namun dia nekad ingin mendengar jawaban langsung dari mulut Intan. Jadi, inilah yang dia dapatkan sekarang. Rasa sakitnya bukan main, dia nampak kecewa tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

...

"Sial!" Desis Daffa sembari memukul stir mobilnya. Dia bisa gila jika seperti ini. Terus-menerus memikirkan hal itu dan membuatnya kalut.

Daffa mempercepat laju mobilnya. Dia ingin segera sampai di rumah kakaknya, Dania. Dia ingin bertemu Theo, bocah laki-laki kecil yang mungkin bisa menghiburnya. Percayalah, terkadang bermain dengan anak kecil sedikit membuat hati lega. Membuat hati menjadi terhibur untuk sesaat. Selain itu, Daffa juga ingin melihat kondisi Dania. Sebenarnya dia juga kasihan pada kakak perempuannya itu.

Kawin KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang