BAB XIV

4K 221 5
                                    

Selamat membaca! 💛

___

Intan membukakan pintu untuk Daffa yang kembali datang berkunjung. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Daffa dan sudah tidak merasa terganggu. Sebenarnya, Daffa memang tidak mengganggu. Kadang pria itu hanya diam dan memperhatikannya. Jika ia sudah tidur, Daffa akan mengecek pekerjaannya atau menonton acara televisi, atau bermain game. Intan justru merasa memiliki anggota keluarga berkat kehadiran Daffa.

Seperti saat ini, Daffa dengan santai memberikan tas kerjanya pada Intan. Hal itu berbeda dengan Sebastian yang justru jarang memberikan tasnya jika pulang ke rumah Intan. Namun, Daffa melakukan sebaliknya dan Intan akan menerima tas kerja itu sembari mengomel. Setelah kena omel Intan, Daffa akan merajuk dan meminta dimasakkan. Jujur saja, Intan masih merasa jika Daffa sama seperti beberapa tahu lalu. Seperti anak usia belasan yang manja dan minta dilayani oleh orang tuanya. Meski terkadang Daffa bisa lebih dewasa dari padanya.

"Berhentilah ngomel dan buatin aku kopi susu," ujar Daffa dan duduk di sofa ruang santai. Di mana ruangan itu biasa untuk menonton televisi atau membaca buku dan lainnya.

"Berhentilah memerintahku dan buat aja sendiri!" Intan meletakkan tas kerja Daffa di sofa dan ia bersedekap menatap Daffa.

"Kalau gitu aku minta tolong," ucap Daffa meralat kata-katanya.

"Aku gak mau nolong," jawab Intan.

"Kalau gitu setidaknya temenin aku bikin. Aku payah soal begituan," ujar Daffa dan bangkit dari sofa. Ia menarik lengan Intan, mengajaknya ke dapur.

Intan mau tak mau menuruti ajakan Daffa. Ia juga tidak mau kekanakan dengan terus mendebat perkataan Daffa. Waktu juga sudah menunjukkan pukul delapan malam, ia mau beristirahat. Daffa juga datang terlalu malam, ia tidak mungkin membiarkan Daffa kelaparan.

Daffa dan Intan sampai di dapur. Sisa makan malam Intan dan Sebastian masih ada di meja makan. Bahkan Intan juga belum sempat mencuci gelas bekas mereka. Intan memalingkan wajah, tidak ingin melihat Daffa. Ia juga tahu kalau Daffa tahu semuanya. Ia biarkan Daffa berjalan ke meja pantry.

"Aku sedih karena kamu gak nunggu aku pulang dulu buat makan malam," ujar Daffa.

Daffa tahu jika Intan pasti makan bersama Sebastian. Ia juga tak punya hak untuk melarang. Apa lagi ia sudah tahu apa hubungan Intan dan Sebastian. Rasa cemburu memang ada, tetapi ia tidak melimpahkan kemarahan pada Intan. Keadaan memang tidak bisa diajak kompromi.

"Aku keburu lapar, Daff. Lagi pula, aku juga bisa nungguin kamu makan. Aku akan siapkan makanan buatmu, kamu bikin minumanmu sendiri." Intan beralih mengambil sisa lauk yang ia makan dengan Sebastian tadi untuk dipanasi.

"Kamu belum juga hamil, ya?" tanya Daffa tiba-tiba.

Intan menghentikan gerakan mengaduk sayur. Ia menghela napas pelan, kemudian menatap Daffa sejenak. "Aku belum tes atau periksa. Mungkin nanti aku akan tes sendiri dulu," ujarnya.

"Kamu gak bermaksud ingin berlama-lama dengan Kak Bastian, kan?" tanya Daffa penuh selidik.

Intan merasa tertohok mendengar pernyataan Daffa. Ia mematikan kompornya dan berbalik menatap Daffa yang bersandar di meja makan. Sebuah cangkir kopi susu ada di atas meja. Intan tersenyum sengit menatap pria di hadapannya. "Apa aku terlihat sedang mengulur-ngulur waktu?" tanya Intan penuh penekanan.

"Entahlah, cuma emang rasanya lama aja." Daffa mengendikkan pundaknya. "Apa lagi, kamu kan suka sama Kak Bastian. Mungkin kamu nyaman," imbuhnya.

"Jujur aku sakit hati dengan kata-katamu. Namun, aku bisa memaklumi karena mungkin kamu cemburu. Tapi jangan senang dulu, aku gak suka caramu cemburu dengan berpikir seperti itu." Intan menatap tajam pada Daffa. Pria itu masih santai seperti biasa.

Kawin KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang