BAB VIII

5.2K 266 9
                                    

Hai semua, aku kembaliiii!!! 😘😘😘

Cus aja langsung baca, karena aku tahu yang ditunggu itu ceritanya bukan yang nulis wkwk *ngenes

___

Intan menghela napas panjang sembari mengamati cangkir kosong yang ada di atas meja. Cangkir itu bekas tempat minum Sebastian. Sementara cangkirnya masih terisi setengah. Sebastian hanya bicara beberapa hal tadi. Selain bicara perihal program kehamilannya, mereka hanya bicara hal-hal ringan.

Intan merasa ada yang berbeda dengan Sebastian. Dia merasakan kehangatan yang diberikan pria itu. Dulu, Sebastian tak sehangat itu. Bahkan terkesan kaku dan biasa saja. Sebastian yang dulu tidak akan pernah mau duduk dan minum teh bersama. Jangankan duduk dan mengobrol, makan saja Sebastian lebih memilih beli di luar.

Ada getaran aneh di dadanya yang membuat senyumnya terukir. Hanya senyum samar, dan kemudian dia kembali melenyapkan senyum itu. Jika pun pikirannya benar, itu hanya akan semakin menyakitkan. Jika pun Sebastian ada rasa pada Intan, Itu tidak akan bertahan lama. Karena Intan sendiri tahu sebesar apa cinta Bastian pada Dania. Bisa jadi, Sebastian bersikap manis padanya, Sebastian mau bersikap hangat padanya, karena semata-mata kasihan padanya. Intan tidak ingin berharap lebih.

Intan kembali teringat kata-kata Sebastian tadi. Pria itu tidak ingin mereka cepat-cepat memiliki anak. Apa itu artinya Sebastian ingin berlama-lama dengan Intan? Namun buat apa? Itu hanya akan membuang-buang waktu dan membuat Dania semakin kesal. Intan pun akan semakin lama terjebak dengan Sebastian.

"Asyik banget ngelamunnya sampai gak lihat ada tamu dateng." Ujar sebuah suara yang berhasil memecah lamunan Intan.

"Sejak kapan kamu tiba, Daff?" Tanya Intan setelah berhasil menetralkan diri dari rasa terkejutnya.

"Sejak tadi." Ujar Daffa santai saja.

Intan tidak berkomentar apapun terhadap kata-kata Daffa. Sudah tahu laki-laki itu akan menjawab sedikit nyeleneh. Meski Intan tahu jawaban Daffa tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi memang Daffa sejak tadi berada di sana.

Daffa bergerak untuk duduk miring di sebelah Intan. Posisinya sekarang tengah menghadap ke arah Intan. Daffa memandang wanita di hadapannya dan tersenyum manis. Daffa tidak  bertanya banyak hal pada Intan. Pun tidak menanyakan cangkir kosong milik siapa yang ada di atas meja. Baik Daffa mau pun Intan sendiri tahu itu bekas siapa. Intan tidak perlu menjelaskan apapun. Dan Daffa memang tidak ada hak untuk meminta penjelasan pada Intan.

"Mau aku buatkan teh?" Tanya Intan, sudah terbiasa dengan kehadiran Daffa beberapa hari ini.

"Mmm, tadi udah dibuatkan teh Kak Dania sih." Daffa memasang wajah berpikir. "Tapi gak apa-apa deh, aku mau." Daffa tersenyum lagi menatap Intan.

Intan menghela napas dan mengangguk. Wanita itu beranjak dari duduknya.

"Tunggu dulu, aku buatkan." Ujarnya.

"Aku juga mau makanan buatanmu. Sejak siang aku belum sempat makan." Daffa bangkit dan mengikuti Intan ke arah pantry.

"Mau dibuatkan apa?" Tanya Intan setelah tahu Daffa mengikutinya.

"Adanya apa?" Daffa bersandar pada meja pantry.

"Di kulkas ada opor ayam, tinggal manasin kalau kamu mau." Ujar Intan sembari membuatkan Daffa teh.

"Boleh bikinin mi instan aja?" Tanya Daffa pelan namun tak terlihat bercanda.

Intan tersenyum jengkel menatap ke arah Daffa. Namun dia tetap mengangguk mengiyakan. Buat apa bertanya adanya apa kalau pada akhirnya Daffa hanya mau mi instan. Intan memberikan cangkir tehnya pada Daffa dan berjalan ke lemari dapur untuk mengambil mi instan.

Kawin KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang